RCD di Markas menwa

Temen2 sebetulnya berusaha melindungi, saya juga tahu diri, kalu pulang ke kos malam hari supaya gak ketahuan dan tidak jarang saya tidur di masjid dekat Markas Resimen Mahasiswa di komplek Fakultas Peternakan.
Sesekali saya melihat kegiatan Resimen Mahasiswa, ada ketertarikan saya pada kegiatan ini, mungkin karena saya dulu pernah aktif di pramuka sewaktu di SMA dulu, sementara kegiatan pramuka di kampus ini tidak ada.
Ada sesuatu yang membuat saya agak bersemangat memasuki organisasi  ini. Syarat masuknya tidak mudah, yaitu harus mempunyai jiwa dan raga yang tahan banting. Bagaimana tidak, mereka digembleng sebagaimana tentara berlatih. Singklat cerita saya ikut tes dan lulus.
Latihan menwa dilakukan setiap Sabtu sore dan Minggu saya jalani dengan penuh semangat. Ujian terakhir agar dilantik sebagai anggota menwa harus mengikuti long mars, jalan kaki dari Bogor ke Mega Mendung, bersepatu lars, berseragam tentara dan membawa senjata garand-salah satu dari 10 jenis senjata laras panjang terbaik didunia. Selain tetek bengek bawaan itu, masih ditambah  rangsel dipunggung yang diisi dua buah bata merah dibungkus koran. Hebatnya lagi, beberapa hari sebelum berangkat, setiap siswa harus teken kontrak, siap mati, apabila terjadi hal-hal diluar perkiraan, sehingga menimbulkan cedera atau mati, maka tidak akan ada penuntutan dari pihak manapun. Sebagian siswa mengundurkan diri tidak ikut ujian,  apakah karena kontrak mati ini, atau faktor lain.
Ujian menwa di mega mendung berupa jungle survival, menembak, renang dgn uniform lengkap, panjat tebing, meluncur-flying fox, merangkak sambil ditembaki kiri kanan, alarm stelling, jerit malam dll.
Disaat siswa sedang menikmati istirahat dan nyenyaknya tidur malam, tiba2 tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, alarm berupa sirene berbunyi keras sekali, sehingga kami terbangun dan sudah ada beberapa instruktur di dekat kami. Semua harus bangun dan dengan pakaian yang menempel apa adanya itu, harus lari kelapangan dan melakukan apel malam.
Bisa dibayangkan, ada yang hanya pakai selimut, ada yang hanya pakai celana dalam saja dan macam2. Tidak ada yang lengkap pakainnya, semua harus dihukum push up dan set up sebanyak 100 kali. Itulah Alarm stelling
Acara lain yang cukup ngeri dinamai jerit malam, waktunya tengah malam juga, kami semua berbaris satu jajar, berhenti disatu titik, instruktur memerintahkan satu persatu maju. Jarak siswa yang satu dengan yang lain cukup jauh.
Giliran saya maju,  jalan yang saya lalui cukup licin dan gelap, kalau harus belok ada tanda panah kemana harus lalui. Teman yang didepan saya sudah gak tau dimana. Tadi sudah diinstruksikan bahwa apapun terjadi, dilarang berteriak kecuali terpaksa dan itu akan berakibat fatal, siswa dinyatakan gugur.
Arah panah yang tadi, rupanya menuju ke komplek makam.
Lama-lama dalam kegelapan, nampak samar2 bekas  jalan yang pernah dilalui siswa sebelumnya. Kadang2 saya harus berhenti dan menunggu perintah berikutnya, ditandai adanya lampu senter berkedip-kedip.
Tidak lama kemudian ada lampu minyak tanah (tahan badai) diletakkan diatas makam yang kelihatannya masih baru, terlihat dari harum bunganya masih semerbak wangi, sampai merinding.
Sampai di lampu- diatas kuburan baru tadi, kami harus membaca pertanyaan yg sudah disiapkan,  dan harus menjawab pertanyaan tersebut  dengan cepat. Disaat itulah godaan2 muncul, ada suara kresek2, ada suara orang tertawa ditempat jauh, ada kerikil dilempar kena helm dan macem2 yang serem2.
Saya cepet2 selesaikan pertanyaan dan saya taruh didekat situ  dan tanpa buang waktu cepat2 jalan kearah yang sudah ditentukan.
Usai sudah ujian yang betul2 menguras tenaga, pikiran dan nyali tersebut, kami lulus dan mendapat sertifikat keanggotaan Resimen Mahawarman Batalyon VII Suryakencana Bogor lengkap dengan baret Ungunya.

Karena keaktifan saya di menwa, saya sering datang ke markas bahkan tidak jarang menginap di markas menwa ini. Mengingat dan mengingat saya nggak mampu bayar kos, saya lapor Komandan Batalyon waktu itu Bang Ashari, Mahasiswa Akhir Fakultas Kehutanan, untuk diperbolehkan tinggal di markas.
Dengan berat hati, sang komandan memberi ijin, dengan catatan tidak ada fasilitas tempat tidur, karena empat tempat tidur yang ada sudah ada yang menempati.
“Siap komandan, saya pakai tiker diruang tengah ndak masalah, asal saya bisa tidur dan belajar” kata saya menirukan gaya tentara
Saya pamit kepada temen satu kos, mereka merelakan dengan berat hati, habis bagaimana lagi, kalau diibaratkan, kami-kami ini sedang terombang ambing dilautan lepas, masing masing kami bertumpu pada pelampung yang hanya mampu menahan satu orang, sedangkan saya nggak punya pelampung, mengandalkan kaki dan tangan saya saja, lama-lama bakal tengggelam kalau nggak ada upaya lain.
Saya bisa sedikit melupakan masalah makan, konsentrasi saya adalah belajar dan belajar agar naik tingkat. Anggaran makan diatur oleh DANDENMA, Komandan detasemen markas, waktu itu Diederik Willem Tou, seorarng WNI keturunan Belanda.
Yang penting saya bantu2 nyuci piring dan bersih2 markas. Tidur beralaskan Koran, karena saya betul2 nggak punya uang untuk membeli selembar tikarpun.
Alhamdulillah ya Allah engkau telah memberi jalan yang terbaik.
Ketika uang sudah ada walaupun terbatas, bisalah beli baju dan perlengkapan hidup lainnya. Rasa percaya diri sedikit demi sedikit, mulai tumbuh, seiring dengn kemampuan financial.
Hubungan dengan teman2 lama mulai  saya jalin lagi, bahkan  saya bisa ikut silaturahmi dengan temen yang kebetulan dekat sebelumnya. Bersama Rudy, saya  sering ke Pancasan untuk belajar bersama dengan Endang dan Emma. Adakalanya kami  belajar sampai larut malam di rumah mas Hidi suami mbak Sri-kakaknya Ndan.
Diam2 kami bikin nasi goreng untuk ngganjal perut yang keroncongan minta diisi, sesekali panggil skoteng, menghangatkan badan dari serangan dinginnya udara malam kota Bogor.
Sekali kali diundang Ema ulang tahun, makan siang dirumahnya di daerah Sukasari. Begitupun mas Hidi mengajak jalan-jalan-rekreasi ke daerah Cimelati Sukabumi bersama-sama keluarga, wah seneng banget.
Begitu juga sering main-main ke Asrama Cikurai 7, nggak jauh dari markas, Kami sebut asrama, karena rumah ini disewa ramai ramai oleh mahaisiwi2 dari berbagai daerah. disana ada Wida, Emmy, Yusra, Moer Hanum dan Endy dll.
Ketika bulan ramadhan ada acara sholat tarawih, kami sholat disana, di imami oleh Cak Ruslan atau Mustofa. Kami juga pernah camping bersama ke Cisaat Sukabumi, waktunya pas liburan puasa, ya bersama penghuni cikurai 7 ini.

Mau nggak mau suka atau nggak suka, saya harus hidup dan mengikuti irama dan suasana markas menwa ini, keras dan disipin memang, tapi saya juga harus mengakui bahwa saya telah tertolong di markas ini. Saya tidak perlu mikir bayar kos, makan relatif cukup, tapi memang ya itu tadi, saya harus rela mengorbankan sebagian waktu saya untuk “mengabdi” kepada kegiatan menwa ini, apa boleh buat, tidak ada pilhan lain.
Tahun RCD ini saya lewati dengan perjuangan yang tidak mudah, sebagian waktu saya harus belajar, sebagian lagi harus menjalani hidup di markas yang setiap hari dikunjungi oleh anggota menwa dari berbagai perguruan tinggi di Bogor, selain IPB ada Universitas Pakuan Bogor, UIC – Universitas Ibnu Chaldun dan AKA-Akademi Kimia Analisis Bogor.

Berkat kerja dan belajar yang keras, saya bisa mengulang masa RCD ini dengan sukses, Cum laude, rasanya saya menerima pengumuman naik tingkat kali ini, meskipun nilainya pas-pasan. Alhamdulillah
Naik tingkat dua, saya mendapat Jurusan Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Sebuah jurusan yang sangat diminati mahasiswa waktu itu, konon katanya bahkan sampai sekarang masih sangat diminati.
Kegiatan di kampus sendiri, saya sudah merasa nyaman bergabung dan kuliah bersama dengan temen2 angkatan 15.
Saya punya saudara Mas Raharjo, bekkerja di TNI AD kesatuannya Paspampres. Istrinya namanya Mbak Rahayu, wah perpaduan nama yang cocok pikir saya.
Temen2 angkatan 15, kesulitan mendapatkan ijin untuk mengunjungi istana Bogor. Kemudian saya minta bantuan mas Raharjo di Jakarta. Saya datangi rumahnya didaerah Kramat Jati Jakarta Timur.
Saya disambut dengan gembira dan disuguhi segala macam aneka hidangan termasuk makan siang segala.
Untuk mendapatkan ijin masuk istana Bogor bukan masalah yang sulit bagi seorang Paspanpres, untuk mengurusnya saya diajak mutar2 komplek Istana Negara.
Saya baru tahu beda istana Negara dan istana Merdeka. Kalau Istana Negara, itu yang menghadap jalan veteran dan biasanya dipergunakan untuk jamuan kenegaraan. Sedangkan istana Merdeka, itu yang menghadap ke tugu monas dan biasanya dipakai untuk upacara tujuh belas agustusan.
Tidak sampai satu hari ijin memasuki istana Bogor saya peroleh dan saya sampaikan pada teman2.
Pada hari yang sudah ditentukan itu, pergilah kami ramai2 ke istana Bogor yang anggun itu, satu angkatan 15 khusus Departemen Sosek, Jurusuan Agribis dan Penyuluhan.
Didalam istana Bogor, kami melihat berbagai benda-benda koleksi Bung Karno termasuk beraneka lukisan dan  cermin seribu yang terkenal itu.
Acara ini diakhiri dengan  berfoto ria di tangga dan halaman istana

Bersama Widi botak, Parwes Servia dan Sigit, kami mendirikan orkes 'Miseta Rindu Order', orkes lucu2 an, kerjaan iseng, untuk mengisi acara  mahasiswa di departemen sosek.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

RINGKASAN TULISAN

Kisah dalam Blog ini saya mulai dari saat kecil saya. Peristiwa yang tidak bisa saya lupakan adalah hujan abu, ketika gunung agung di Bali meletus, ini membuat desa saya selama 3 hari 3 malam serasa malam, karena gelap terus sepanjang hari. Peristiwa G-30-S PKI adalah peristiwa berikutnya yg pernah saya alami dan terasa miris dan memilukan.

Sekolah SMP saya letaknya disebelah barat lapangan besaran. Luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan itu ada bangunan tua, bekas rumah atau kantor pejabat pemerintah Hindia belanda. Disana bangunan SMP saya itu berada.

Siswi baru itu ternyata pindahan dari sekolah lain. Sopan dalam bicara, santun dalam bersikap. Putih bersih kulitnya. Teman saya memberi julukan si Mutiara dari Masamba. Di bagian ini saya curahkan betapa cinta itu memberi energi yang luar biasa.

Dibagian cerita ini, saya merasakan begitu bahagia. Masa SMA adalah masa terindah. Agaknya saya berbeda dengan yang lain, karena di saat ini biasanya cinta itu tumbuh. Namun saya merasakan keberhasilan yang lain selain cinta. Bagi saya, cinta itu masih melekat dari masa sebelum ini.

Jatuh dan bangun dalam kehidupan saya rasakan disini. Sampai saya punya pendangan bahwa kebanggaan saya bukan karena tidak pernah gagal, tapi kebanggaan saya adalah bagaimana bisa bangkit setiap kali jatuh.

Adalah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, intinya menceriterakan bahwa di IPB ternyata tidak sedikit anak yang gak mampu dalam segi biaya seperti saya. Tulisan ini dikutip dari Majalah TEMPO 24 Januari 1976.

Adalah kumpulan kata mutiara cinta, ada sekitar 105 pasal. Anda dapat menambahkan kata mutiara cinta milik anda disini, kalau pengin lihat hasilnya Klik disini.

Blogger Template by Blogcrowds