Kuliah dan kerja


Bunyi roda kereta api menderit beradu dengan besi lurus yang sangat  panjang-rel. Ini  Awal perjalanan menuju Kota Bandung untuk selanjutnya ke Bogor sebagai tujuan akhir. Sebelah saya Rudy, mulai merasa ngantuk, semalam ia begadang sampai mendekati pagi, ngobrol tak habis-habisnya dengan temen-temen yang sebentar lagi akan mengikuti test masuk perguruan tinggi di Surabaya.
Sudah beberapa jam berlalu, tapi syair itu kadang masih berkelebat di pikiran saya Sedang apa dia sekarang, Masih ingatkah ia akan masa-masa yang indah itu. Ah pikiran saya jauh menerawang ketempat dimana si Mutiara itu sekarang berada. Ada sebait cerita yang ingin saya sampaikan, tentang keberhasilan, tantangan dan perjalanan dalam menggapai asa. Saya hampir merasa putus asa untuk dapat ketemu dia. Sejak awal SMA itu beritanya sudah tak terdengar lagi, saya betul-betul kehilangan sosok mutiara yang saya kagumi itu.
Mentari sudah terbenam di ufuk barat, Kereta ini  rasanya begitu lamban, tak sanggup lagi untuk mengajak lebih lama bercengkerama dengan sang mentari itu.
Setelah makan,  membeli dari penjual yang hilur mudik, saya juga tertidur, tapi sebentar-sebentar bangun karena goyangan kereta yang mengganggu..
Pertengahan Desember 1976, kota Bandung tidak berbeda dengan kota-kota lain di pulau jawa, hujan tiap hari. Konon orang tua-tua bilang desmber adalah gede-gedenya sumber, jadi hujan terus. 
Beberapa hari di Bandung sebagai awal perjalanan panjang, tidak ada sesuatu yang luar biasa, hanya pada hari pertama sampai disana, suatu sore yang sejuk, pembantu rumah  yang kami kunjungi ini, menyuguhkan teh, hangat. “Wah asyik nih” pikir saya
Begitu saya sruput, waduh kaget bukan kepalang, ternyata tehnya itu pahit tanpa gula. Ini pengalaman baru buat saya karena seumur-umur, minum teh tanpa gula ya sekarang ini.

Hiruk pikuk mahasiswa baru
Menuju Bogor dari Bandung memerlukan sedikit tenaga extra, mengingat bawaan berupa koper besar- tanpa roda, ditimpali suasana gerimis. Bis melewati puncak, berhenti di Termial Baranang Siang.
Dengan sok yakin, kami berdua naik bemo ke Pasar Bogor. Begitu bemo berhenti, baru kami nanya
“Kalau ke Jl Bangka naik apa ya bang?’
“Waduh neng, dibawah terminal tadi itu jalan Bangka, tinggal jalan aja saetik” kata tukang bemo
Kami berdua cekikikan, makanya, malu bertanya sesat dijalan ya ini nih he he
Karena tadinya kami berpikir banyak bertanya malu-maluin.
Mas heru kenalan Pak lek, yang tadinya tinggal di jalan Bangka no7 ini sudah pindah entah kemana, untungnya bu Marno pemilik rumah itu baik hati, kami dipersilahkan istirahat  di kamar kost yang kosong tapi sudah di booking, dan belum ditempati penghuninya.
Keesokan harinya kami pamit dan menuju ke daerah Pasir Kuda- sekitar wilayah gunung Batu menuju Ciomas.
Hari pertama kami awali dengan mendatangi kampus, sesuai jadwal undangan, kami harus datang dan menyerahkan semua persyaratan yang diperlukan, rapor asli, ijazah asli dan bukti transfer asli via pos sebesar Rp. 15.000 – lima belas ribu rupiah saja.
Saya baru tahu kemudian ternyata inilah awal pertama kalinya  IPB memulai program baru dengan mngundang seribu lebih calon mahasiswa yang diambil dari siswa2 SMA negeri dan swasta  terbaik seluruh Indonesia tanpa tes. Program tanpa tes masuk ini, kelak diadopsi oleh perguruan-tinggi2 negeri lain di Indonesia
Saya masuk sebagai Angkatan 14 kebetulan sama dengan angkatan masuk SMAN Probolinggo. Nomor mahasiswa saya adalah 140009 sedangkan temen2 satu SMA ada 7 orang, nomornya berdekatan dengan nomor saya.
Rektor IPB waktu itu Prof. Dr. Ir. AM Satari, setahun kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution.
Mulailah kami dengan kehidupan baru dikota yang asing ini buat kami. Cuaca mendung dan hujan setiap hari-makanya kota ini di kenal sebagai kota hujan. Dari rumah kost ke kampus baranangsiang cukup jauh, jalan kaki dulu sekitar 1 km, kemudian naik angkot dan disambung dengan bemo dari jembatan merah.
Mencuci baju sendiri sebetulnya biasa saja, tapi yang jadi masalah adalah gak ada sinar matahari. Baju nggak kering, bau apek. Kemudian timbul ide, belilah kurungan/sangkar ayam yang agak besar, lampu petromak dinyalahain ditempatkan ditengah sangkar ayam, baju dan celana yg habis dicuci diletakkan diatas kurungan itu. Hasilnya lumayan, dari pada nunggu matahari yang gak jelas kapan munculnya.
Kami sering terlambat masuk kuliah matrikulasi, sebuah istilah yang artinya kuliah pendahuluan untuk menyamakan mata pelajaran Matematika, sambil menunggu mahasiswa baru dari jalur Saringan Ujian Masuk. Kesulitan kami, selain karena  lokasi kos jauh  juga masalah bemo yang lelet- maju mundur pantang terus. Sebulan kemudian kami ber 5 sepakat untuk kost bareng didaerah Babakan Peundey - Bapens , lokasinya tidak jauh dari kampus baranangsiang, kalau pergi kuliah cukup jalan kaki.

Oleng
Satu hal yang harus saya waspadai adalah masalah keuangan. Untuk sementara tabungan hadiah dari Walikota itu,  masih cukup untuk beberapa bulan kedepan  dengan catatan super hemat, hanya untuk makan thok, tidak ada acara nonton bioskop,  makan di resto dan tidak ada plesiran.
Orang tua sudah wanti-wanti,  Bapak menyerahkan sepenuhnya segala biaya kuliah ini kepada Pak lek.
Bulan ketiga sejak ada di Bogor pak lek baru kirim wesel via pos. Ngambil wesel di kantor pos biar cepat harus punya kartu C7 namanya.
Beberapa bulan kemudian kami harus pindah lagi, karena ternyata kost kami ini “kurang layak huni”, terbuat dari bilik dan tiang dari pohon bambu, kalau ada yang lewat kamar kami bergoyang-goyang dan rawan kebakaran, karena bilik bambunya itu.
Pindah ke jalan gunung gede, agak murah dan layak huni, sebuah pavilyun rumah karyawan dinas Penelitian Peternakan, kami tempati rame2. Sayangnya saat itu keuangan sudah mendekati titik kritis.
Kiriman wesel tak kunjung datang, kebutuhan terus menghantui terutama kebutuhan pangan dan bayar kost. Temen2 sekamar cukup baik dan pengertian, kiriman makanan dari ortu mereka dibagi rata sesama penghuni, hanya saya yang berkali-kali minta maaf karena nggak ada yang saya bagi.
Bulan berikutnya lebih parah lagi, kakak saya yang lulusan sekolah pertanian itu, belum dapat pekerjaan, adik nomor tiga  sekolah guru naik kelas 2, adik nomor 4 masuk SMA dan nomor 5 naik kelas 2 SMP, semua butuh dana. 
Tanah bengkok, sebuah inventaris desa yang boleh digarap bapak, sebagai imbalan menjadi carik desa, telah lama digadai untuk membiayai kakak sekolah di SPMA dan adik2. Jadi nggak ada alasan saya mengeluh karena tidak mendapat kiriman dari orang tua. Saya hanya menyesal kenapa keadaan ini tejadi saat ini, pada saat saya harus berjuang dan berpikir bagaimana harus menghapal mata kuliah Matriks, kalkulus, Kimia Koloid dan fisika inti dan lain sebagainya. Belum lagi harus menghapal nama-nama latin semua tanaman yang ada disepanjang jalan antara kampus baranang siang sampai kampus dermaga Bogor. 
Detik ini saya menghapal banyak-banyak, menyusup rasa lapar dan nggak tahu duit dari mana, sekejap itu juga hilang apa yang saya hapalkan itu. Parah… 
Pikiran ini sulit saya ajak kompromi untuk menghapal apalagi menyelesaikan soal-soal latihan yang njlimet itu.
Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, saya mensyukuri apa yang pernah saya alami sewaktu sekolah di Probolinggo itu sebagai suatu rahmat dan nikmat yang luar biasa. Mudah2 Allah akan memberikan jalan agar saya bisa keluar dari kemelut yang saya hadapi ini.
Ada warung diujung jalan Gunung Gede, warung itu dibuat dari sisa2 papan bekas dan atapnya dari daun ilalang. Disana saya sering berada,  ketika perut ini tidak sanggup menahan lapar. Saya katakan pada P. Rohman dan Bu Ina, pemilik warung itu – orang Cirebon.
“Kiriman saya belum datang, saya nggak punya uang untuk membeli nasi, boleh nggak saya ngutang, nanti kalau saya punya uang saya kembalikan” kata saya sambil menahan rasa malu yang sangat
“Boleh aja, tapi seadanya ya..., karena warung ini hanya untuk kuli2 yang sedang bangun jalan itu” kata P. Rohim menaruh iba
“Terima kasih Pak, saya sudah dibantu, kalau di rumah biasanya saya makan nasi lauknya tempe goreng sudah cukup” kata saya menahan haru
Mulai saat itu tanpa sepengetahuan temen2, saya selalu makan dengan cara mengutang dan saya tahu diri, saya makan nasi hanya berlauk tempe goreng saja, kadang2 ditambah sambal terasi plus bawang merah sedikit- saya yang bikin sendiri agar nggak ngrepotin.
Mungkin karena asupan gizi yang tidak memadai itu, pikiran jadi tidak mudah konsentrasi,walaupun demikian  semangat belajar,  saya  pacu demikian rupa untuk mengukuti teman2 lainnya. Tidak jarang untuk pergi kuliah kebaranang siang saya harus jalan kaki yang jauhnya sekitar 3 km.
Sesekali kiriman wesel dari Pak lek datang, itupun cukup untuk membayar hutang makan yang kemarin, untuk makan kedepan saya harus ngutang lagi. Tutup lubang.. gali lubang lagi…
Saya menyisakan sedikit untuk ongkos pergi ke Parung, ketempat saudara iparnya Pakde- kakaknya bapak. Kata bapak, beliau  jadi karyawan PU barangkali bisa nolong. Dihari libur itu, diatas angkot menuju Parung,  saya sempat berhayal, nanti ketemu beliau saya akan nekat pinjam untuk biaya kuliah dan saya akan kembalikan kalau sudah kerja.
Setelah nanya ke tukang ojek, ketemulah  nomor yang saya cari, saya kembali terkejut dan tidak berani berharap. Rumah Pak De Rohayat ini tidak beda dengan rumah bapak di kampung, anak2nya masih kecil2 dan jauh dari kesan berada.
Selesai bersilaturahmi saya pamit dengan mengucapkan terima kasih, karena sudah diterima berkunjung dan disuguhin makan segala.
Saya diberi uang sangu dari Pak de, sebetulnya saya nggak tega tapi kelihatannya beliau berharap saya mau menerimanya, walaupun sedikit. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih, lumayan untuk ganti transport ke Parung.
Diatas angkot yang membawa saya ke gunung gede, Kembali pikiran saya menerawang kosong-hampa. Rasanya saya hidup sebatang kara, jauh dari sanak saudara, tidak ada tempat mengadu dan meminta.
Ah…. Seandanya keadaan saat ini sama dengan yang di Probolinggo, saya bisa belajar dengan tenang, tanpa berpikir besok makan apa dan uangnya dari mana….
Saya merasakan perbedaan yang ekstrem sekali, kalau di Probolinggo rasanya hidup ini serba mudah, setiap ketemu orang, rasanya mereka semua tersenyum., saya menganggap semua itu sebagai anugerah. Tapi di Bogor ini, saya merasa seperti gembel,  jangankan tersenyum, melihat saja, mereka seolah sudah enggan, ini bencana pikir saya.

Perbaikan gizi sesaat
Setiap hari Sabtu adalah hari yang mencekam, betapa tidak, setiap hari sabtu itulah mata-kuliah2 secara bergantian  diujikan. Bagi mahasiswa yang berasal dari Jakarta atau daerah yang dekat Bogor, setiap sabtu siang mereka pulang mengunjungi keluarganya, sekalian perbaikan gizi dan refreshing pikiran.
Iwantono adalah seorang temen yang berasal dari kota Malang, suatu hari mengajak saya untuk, katanya sih mencari proyek perbaikan gizi. Saya pakai baju batik, celana panjang dan sepatu hitam. 
Menggunakan sepeda motor Honda, pergilah kami ke gedung pertemuan di daerah jalan Suryakencana. Saya baru tahu kalau disana ada pesta pernikahan entah siapa.
“Siapa yang punya hajat ini wan?” tanya saya pengin tahu
“Tenang aja, ini saudara saya jauh” kata dia cengengesan sambil mengeluarkan bungkusan kado dari jaketnya
Kado tadi diserahkan ke penerima tamu- setelah mengisi buku tamu. 
Antrian untuk bersalaman dengan pengantin masih panjang
“Kita makan dulu aja yuk” ajak Iwan
Habis makan, dia ngajak pulang
“Kok nggak salaman wan?, katanya saudara” tanya saya penasaran
Dalam perjalanan pulang dia bercerita bahwa, yang punya hajat itu saudara jauh dari nabi adam dan kado yang diserahkan itu berupa handuk kecil, kemarin dia beli.
“wah dasar…” pikir saya, tapi asyik juga sih

Kuliah di IPB sambil kerja?
Liburan di akhir smester satu, hampir satu bulan lamanya, nah kesempatan ini saya  manfaatkan cari kerja agar punya uang. Mulailah saya cari info ke Biro Mahasiswa, saya katakan bahwa saya ingin kerja apa saja selama libur smester ini, kemudian saya diarahkan ke Dep Lembaga Pengabdian Masyarakat, setelah memenuhi persyaratan yang diperlukan termasuk test kemampuan, saya diterima sebagai pekerja sosial  dan ditempatkan di daerah Karawang.
Honor summer job ini, sementara bisa memperpanjang nafas saya, saya hemat lembar demi lembar, saya lunasi dulu hutang saya ke P. Rohim, sisanya cukup untuk hidup satu bulan setengah kedepan.
Akhir semester dua, saat yang menentukan itu tiba, yaitu pengumuman kenaikan tingkat. Saya tidak bisa pulang, lagi-lagi nggak ada ongkos, sementara temen2 sudah pulang semua baik yang ke probolinggo maupun ke kota lainnya.
Sambil menerima amplop. saya berdoa semoga saya sanggup menerima apapun yang terjadi dan benar, saya dinyatakan tidak naik tingkat karena IP  kumulatif  kurang dari 2,0.
Saya amati semua mata kuliah dapat C, sementara Pancasila (kreditnya satu) dapat B dan bahasa Inggris (kreditnya 3)  dapat D.
Tulang belulang ini rasanya copot dari tubuh saya, lemas nggak ada daya, rasa kecewa, malu dan rasa putus asa merasuki jiwa saya. Kecewa karena di IPB ini nggak ada namanya her-ujian ulangan.
Malu, bagaimana tidak, setahun yang lalu saya adalah pelajar teladan, juara kelas, masak hari ini nggak naik tingkat, memalukan…. Memalukan sekali
Saya merasa hampir putus asa, hanya karena bhs Inggris saja dapat D saya harus mengulang selama setahun, darimana biayanya?, minta tolong siapa lagi ? padahal tahun kemarin aja sudah habis2an rasanya. 
Tak terasa air mata ini terurai, rasanya dada ini sesak untuk bernafas.
Saya berusaha tenang, saya kabarkan ke orang tua dan Pak lek, saya tidak naik tingkat dan harus mengulang. Terutama ibuk, hanya bisa menangis dan berdoa semoga saya tabah dan minta maaf ibu nggak bisa bantu.
Saya agak bisa menarik nafas lega, karena ada beberapa orang yang berasal dari satu sekolah harus mengulang. 
Saya harus merasa beruntung karena yang harus drop out (langsung keluar) dari IPB jumlahnya tidak sedikit. Rupanya Tuhan masih memberi kesempatan buat saya. Dari kejauhan terdengar sayup2 syair lagu : .....

…..Anugerah dan Bencana / adalah kehendakNya / Kita mesti sabar menjalani / Hanya cambuk kecil / agar kita sadar / Adalah dia diatas segalanya…..

RCD atau Recidivis adalah predikat yang diberikan kepada  mahasiswa yang tidak naik tingkat. 
Predikat yang cukup kejam ini menambah penderitaan kami.
Hari-hari berilalu  saya lihat di kampus banyak  kejadian yang tidak biasanya terjadi, sesuatu yang aneh, terlihat beberapa mahasiswa  mungkin sangat frustasi, keadaannya lebih parah dari saya, mereka  benar-benar lupa ingatan, hilang kendali,  benar2 (maaf) “gila”, mungkin karena stress berat, kasihan sekali. 
Mudah2 an saya masih diberi kesabaran dan kekuatan iman.
Entah dari mana kalimat ini saya temukan- saya lupa, kalimat itu berbunyi ‘Kebanggaan kita dalam hidup ini, bukan karena tidak pernah jatuh, tapi bagaimana bangkit setiap kali jatuh’
Kalimat itu selalu saya ingat, Bagaimana kita bangkit dari jatuh, supaya hidup normal lagi, itu intinya


Tahun kedua pada tingkat yang sama, tingkat satu, saya mulai dengan perasaan tak menentu. Saya akan terus bertekad bahwa bagaimana bangkit setelah jatuh itu yang menjadi pemicu semangat, itu yang akan menjadi kebanggaan bagi saya kelak
Ada sedikit keringanan buat anak2 RCD. Kegiatan praktikum kimia dasar, fisika dasar dan biologi ditiadakan, jadi saya cukup ada waktu. 
Saya coba sambil cari kerja, melamar ke bagian perpustakaan, ditolak, alasannya karyawan yang ada sudah cukup, tidak perlu penambahan tenaga kerja.
Melamar ke POM Bensin di Jl. Pajajaran, ditolak karena jam kerjanya 24 jam dibagi 3 shift dan seluruh shift itu tidak boleh digantikan, artinya bentrok dengan jadwal kuliah.
Acara makan ngutang terus berjalan, ditambah bayar kos harus segera dilunasi. Lama2 saya kasihan sama temen2 yang telah membantu memberi alasan ke ibu kos, bahwa saya sedang nunggu kiriman (yang gak datang2).

RCD di Markas menwa
Temen2 sebetulnya berusaha melindungi, saya juga tahu diri, kalu pulang ke kos malam hari supaya gak ketahuan dan tidak jarang saya tidur di masjid dekat Markas Resimen Mahasiswa di komplek Fakultas Peternakan.
Sesekali saya melihat kegiatan Resimen Mahasiswa, ada ketertarikan saya pada kegiatan ini, mungkin karena saya dulu pernah aktif di pramuka sewaktu di SMA dulu, sementara kegiatan pramuka di kampus ini tidak ada.
Ada sesuatu yang membuat saya agak bersemangat memasuki organisasi  ini. Syarat masuknya tidak mudah, yaitu harus mempunyai jiwa dan raga yang tahan banting. Bagaimana tidak, mereka digembleng sebagaimana tentara berlatih. Singklat cerita saya ikut tes dan lulus.
Latihan menwa dilakukan setiap Sabtu sore dan Minggu saya jalani dengan penuh semangat. Ujian terakhir agar dilantik sebagai anggota menwa harus mengikuti long mars, jalan kaki dari Bogor ke Mega Mendung, bersepatu lars, berseragam tentara dan membawa senjata garand-salah satu dari 10 jenis senjata laras panjang terbaik didunia. Selain tetek bengek bawaan itu, masih ditambah  rangsel dipunggung yang diisi dua buah bata merah dibungkus koran. Hebatnya lagi, beberapa hari sebelum berangkat, setiap siswa harus teken kontrak, siap mati, apabila terjadi hal-hal diluar perkiraan, sehingga menimbulkan cedera atau mati, maka tidak akan ada penuntutan dari pihak manapun. Sebagian siswa mengundurkan diri tidak ikut ujian,  apakah karena kontrak mati ini, atau faktor lain.
Ujian menwa di mega mendung berupa jungle survival, menembak, renang dgn uniform lengkap, panjat tebing, meluncur-flying fox, merangkak sambil ditembaki kiri kanan, alarm stelling, jerit malam dll.
Disaat siswa sedang menikmati istirahat dan nyenyaknya tidur malam, tiba2 tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, alarm berupa sirene berbunyi keras sekali, sehingga kami terbangun dan sudah ada beberapa instruktur di dekat kami. Semua harus bangun dan dengan pakaian yang menempel apa adanya itu, harus lari kelapangan dan melakukan apel malam. 
Bisa dibayangkan, ada yang hanya pakai selimut, ada yang hanya pakai celana dalam saja dan macam2. Tidak ada yang lengkap pakainnya, semua harus dihukum push up dan set up sebanyak 100 kali. Itulah Alarm stelling
Acara lain yang cukup ngeri dinamai jerit malam, waktunya tengah malam juga, kami semua berbaris satu jajar, berhenti disatu titik, instruktur memerintahkan satu persatu maju. Jarak siswa yang satu dengan yang lain cukup jauh.
Giliran saya maju,  jalan yang saya lalui cukup licin dan gelap, kalau harus belok ada tanda panah kemana harus lalui. Teman yang didepan saya sudah gak tau dimana. Tadi sudah diinstruksikan bahwa apapun terjadi, dilarang berteriak kecuali terpaksa dan itu akan berakibat fatal, siswa dinyatakan gugur. 
Arah panah yang tadi, rupanya menuju ke komplek makam. 
Lama-lama dalam kegelapan, nampak samar2 bekas  jalan yang pernah dilalui siswa sebelumnya. Kadang2 saya harus berhenti dan menunggu perintah berikutnya, ditandai adanya lampu senter berkedip-kedip. 
Tidak lama kemudian ada lampu minyak tanah (tahan badai) diletakkan diatas makam yang kelihatannya masih baru, terlihat dari harum bunganya masih semerbak wangi, sampai merinding.
Sampai di lampu- diatas kuburan baru tadi, kami harus membaca pertanyaan yg sudah disiapkan,  dan harus menjawab pertanyaan tersebut  dengan cepat. Disaat itulah godaan2 muncul, ada suara kresek2, ada suara orang tertawa ditempat jauh, ada kerikil dilempar kena helm dan macem2 yang serem2. 
Saya cepet2 selesaikan pertanyaan dan saya taruh didekat situ  dan tanpa buang waktu cepat2 jalan kearah yang sudah ditentukan.
Usai sudah ujian yang betul2 menguras tenaga, pikiran dan nyali tersebut, kami lulus dan mendapat sertifikat keanggotaan Resimen Mahawarman Batalyon VII Suryakencana Bogor lengkap dengan baret Ungunya.

Karena keaktifan saya di menwa, saya sering datang ke markas bahkan tidak jarang menginap di markas menwa ini. Mengingat dan mengingat saya nggak mampu bayar kos, saya lapor Komandan Batalyon waktu itu Bang Ashari, Mahasiswa Akhir Fakultas Kehutanan, untuk diperbolehkan tinggal di markas.
Dengan berat hati, sang komandan memberi ijin, dengan catatan tidak ada fasilitas tempat tidur, karena empat tempat tidur yang ada sudah ada yang menempati.
“Siap komandan, saya pakai tiker diruang tengah ndak masalah, asal saya bisa tidur dan belajar” kata saya menirukan gaya tentara
Saya pamit kepada temen satu kos, mereka merelakan dengan berat hati, habis bagaimana lagi, kalau diibaratkan, kami-kami ini sedang terombang ambing dilautan lepas, masing masing kami bertumpu pada pelampung yang hanya mampu menahan satu orang, sedangkan saya nggak punya pelampung, mengandalkan kaki dan tangan saya saja, lama-lama bakal tengggelam kalau nggak ada upaya lain.
Saya bisa sedikit melupakan masalah makan, konsentrasi saya adalah belajar dan belajar agar naik tingkat. Anggaran makan diatur oleh DANDENMA, Komandan detasemen markas, waktu itu Diederik Willem Tou, seorarng WNI keturunan Belanda. 
Yang penting saya bantu2 nyuci piring dan bersih2 markas. Tidur beralaskan Koran, karena saya betul2 nggak punya uang untuk membeli selembar tikarpun. 
Alhamdulillah ya Allah engkau telah memberi jalan yang terbaik.
Ketika uang sudah ada walaupun terbatas, bisalah beli baju dan perlengkapan hidup lainnya. Rasa percaya diri sedikit demi sedikit, mulai tumbuh, seiring dengn kemampuan financial.
Hubungan dengan teman2 lama mulai  saya jalin lagi, bahkan  saya bisa ikut silaturahmi dengan temen yang kebetulan dekat sebelumnya. Bersama Rudy, saya  sering ke Pancasan untuk belajar bersama dengan Endang dan Emma. Adakalanya kami  belajar sampai larut malam di rumah mas Hidi suami mbak Sri-kakaknya Ndan. 
Diam2 kami bikin nasi goreng untuk ngganjal perut yang keroncongan minta diisi, sesekali panggil skoteng, menghangatkan badan dari serangan dinginnya udara malam kota Bogor. 
Sekali kali diundang Ema ulang tahun, makan siang dirumahnya di daerah Sukasari. Begitupun mas Hidi mengajak jalan-jalan-rekreasi ke daerah Cimelati Sukabumi bersama-sama keluarga, wah seneng banget.
Begitu juga sering main-main ke Asrama Cikurai 7, nggak jauh dari markas, Kami sebut asrama, karena rumah ini disewa ramai ramai oleh mahaisiwi2 dari berbagai daerah. disana ada Wida, Emmy, Yusra, Moer Hanum dan Endy dll. 
Ketika bulan ramadhan ada acara sholat tarawih, kami sholat disana, di imami oleh Cak Ruslan atau Mustofa. Kami juga pernah camping bersama ke Cisaat Sukabumi, waktunya pas liburan puasa, ya bersama penghuni cikurai 7 ini.

Mau nggak mau suka atau nggak suka, saya harus hidup dan mengikuti irama dan suasana markas menwa ini, keras dan disipin memang, tapi saya juga harus mengakui bahwa saya telah tertolong di markas ini. Saya tidak perlu mikir bayar kos, makan relatif cukup, tapi memang ya itu tadi, saya harus rela mengorbankan sebagian waktu saya untuk “mengabdi” kepada kegiatan menwa ini, apa boleh buat, tidak ada pilhan lain.
Tahun RCD ini saya lewati dengan perjuangan yang tidak mudah, sebagian waktu saya harus belajar, sebagian lagi harus menjalani hidup di markas yang setiap hari dikunjungi oleh anggota menwa dari berbagai perguruan tinggi di Bogor, selain IPB ada Universitas Pakuan Bogor, UIC – Universitas Ibnu Chaldun dan AKA-Akademi Kimia Analisis Bogor.

Berkat kerja dan belajar yang keras, saya bisa mengulang masa RCD ini dengan sukses, Cum laude, rasanya saya menerima pengumuman naik tingkat kali ini, meskipun nilainya pas-pasan. Alhamdulillah
Naik tingkat dua, saya mendapat Jurusan Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Sebuah jurusan yang sangat diminati mahasiswa waktu itu, konon katanya bahkan sampai sekarang masih sangat diminati.

Kegiatan di kampus sendiri, saya sudah merasa nyaman bergabung dan kuliah bersama dengan temen2 angkatan 15.
Saya punya saudara Mas Raharjo, bekkerja di TNI AD kesatuannya Paspampres. Istrinya namanya Mbak Rahayu, wah perpaduan nama yang cocok pikir saya.
Temen2 angkatan 15, kesulitan mendapatkan ijin untuk mengunjungi istana Bogor. Kemudian saya minta bantuan mas Raharjo di Jakarta. Saya datangi rumahnya didaerah Kramat Jati Jakarta Timur.
Saya disambut dengan gembira dan disuguhi segala macam aneka hidangan termasuk makan siang segala.
Untuk mendapatkan ijin masuk istana Bogor bukan masalah yang sulit bagi seorang Paspanpres, untuk mengurusnya saya diajak mutar2 komplek Istana Negara. 
Saya baru tahu beda istana Negara dan istana Merdeka. Kalau Istana Negara, itu yang menghadap jalan veteran dan biasanya dipergunakan untuk jamuan kenegaraan. Sedangkan istana Merdeka, itu yang menghadap ke tugu monas dan biasanya dipakai untuk upacara tujuh belas agustusan.
Tidak sampai satu hari ijin memasuki istana Bogor saya peroleh dan saya sampaikan pada teman2. 
Pada hari yang sudah ditentukan itu, pergilah kami ramai2 ke istana Bogor yang anggun itu, satu angkatan 15 khusus Departemen Sosek, Jurusuan Agribis dan Penyuluhan. 
Didalam istana Bogor, kami melihat berbagai benda-benda koleksi Bung Karno termasuk beraneka lukisan dan  cermin seribu yang terkenal itu. 
Acara ini diakhiri dengan  berfoto ria di tangga dan halaman istana

Bersama Widi botak, Parwes Servia dan Sigit, kami mendirikan orkes 'Miseta Rindu Order', orkes lucu2 an, kerjaan iseng, untuk mengisi acara  mahasiswa di departemen sosek.

Pesawat terbang betulan
Pagi itu cahaya kuning keemasan tampak semburat diufuk timur, menandakan sebentar lagi sang surya akan menyinari bumi. Di penghujung tahun akademis, seperti biasanya acara liburan saya isi dengan mencari kerja. Kali ini saya bersyukur berkat pertolongan P. Rangkuti – Mantan Komandan Batalyon VII, saya dan beberapa anggota menwa terpilih, ikut malakukan survey ke daerah transmigrasi di daerah Tembilahan Propinsi Riau. 
Yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah honor yang saya terima dan pergi naik pesawat terbang hmmm. 
Perkara apa yang akan dikerjakan disana, ntar aja nggak peduli, yang penting dapat kerjaan, dapat duit, lega rasanya.
Berangkat naik pesawat terbang dari Bandara Kemayoran, kurang lebih satu setengah jam diangkasa, mendaratlah kami di Bandara Pekanbaru Riau. 
Satu malam kami menginap di hotel  Tun Tedja, ditengah kota Pekanbaru. 
Paginya dengan menumpang bus kecil kami berangkat. Jarak yang kami tempuh cukup jauh, menghabiskan waktu satu hari satu malam. 
Sepanjang jalan yang terlihat hanya hutan dan rumput ilalang yang tinggi dan debu debu sepanjang jalan. Ketika menyeberang sungai, bis yang kami tumpangi ini harus dinaikkan ke atas perahu penyeberangan.
Selesai menurunkan perlengkapan survey, sekitar lima belas orang, kami siap berangkat lagi dengan menggunakan perahu tok-tok. Hampir satu hari kami baru nyampai di lokasi. 
Sempat kami makan siang di sebuah warung pinggir sungai, masakan padang kelihatannya, Cuma masakannya terasa asin dilidah.

Base camp survey adalah salah satu rumah transmigran yang kosong. Juru masak tim adalah  kami sendiri secara  bergantian. 
Waktu kami mencari air untuk menenak nas,. mutar kesana kemari, air yang ada  warnanya coklat, yang kami cari air putih bersih, sama sekali nggak ada.
“Air untuk masak dan minum ya yang warna coklat itu, nggak apa-apa...” kata warga transmigran memberitahu kami
Hmmm, kami harus makan dan minum air coklat itu, pengalaman pertama. 
Kenapa airnya berwarna coklat?
Air yang ada disana itu berasal dari hujan kemudian masuk ke lahan gambut dan melewati akar2 pohon, makanya warnanya jadi coklat begitu.
Tim pertama membawa bor tanah dan perlengkapan lain, bertugas untuk mengambil sample tanah, yang kemudian akan dianalisa di laboratorium tanah.
Tim kedua membawa daftar pertanyaan dan catatan lain, tugasnya mewawancarai transmigran. Beberapa pertanyaan yang berhasil dihimpun akan dilaporkan ke kantor. Saya masuk tim kedua.
Tugas tidak berat, tapi jalannya itu, belum ada jalan yang dibangun menuju lokasi transmigrasi itu. 
Dalam hati saya berpikir, bagaimana mungkin proyek yang tidak manusiawi ini dipaksakan untuk dihuni, kasihan. Mereka hidup terpencil dan nggak bisa kemana-mana. 
Mereka berasal dari daerah Wonosobo dan Gunung kidul. Maklum aja sebagian rumah pada kosong,
“Mereka pada melarikan diri, keluar dari komplek ini” kata salah seorang transmigran yang saya wawancarai
Hampir seminggu kami disana, sebelum pulang ke Jakarta, dari hotel yang sama, kami melakukan hubungan dengan Jakarta tentang data-data yang sudah kami dapatkan. 
Ternyata data itu masih kurang, sebagian dari kami harus balik ke lokasi dan sebagian harus pulang ke Jakarta. Lagi-lagi saya menganggap beruntung, karena yang tinggal  sebanyak 5 orang itu, salah satunya adalah saya. lumayan honor bertambah....
Kalau perjalanan pertama menuju lokasi butuh dua hari satu malam, perjalanan kali ini butuh waktu hanya beberapa menit. 
Dari Pekanbaru kami naik pesawat kecil SMAC-Sumatra Maskapai Air Charter menuju bandara Japura Tembilahan.
Selesai ambil data di lokasi, kami masih ada waktu, kami pergunakan berkunjung ke rumah orang tua komandan kami, Diederik Willem Tou, rumahnya dekat bandara Japura. 
Disana kami disambul hangat oleh keluarga Om Tou Ayah Diederik, kebetulan Komandan lagi di Bogor, tidak pulang.
Jalan-jalan ke kota Tembilahan adalah acara yang tidak kami lewatkan. Negara Singapura dengan gedung2 pencakar langit tampak jelas dari pantai Tembilahan. Ingin  rasanya nyeberang kesana karena terlihat begitu dekat. 
Saya sempat beli jaket tentara Korea, celana jean yang harganya, hmmm.. murah nian, hampir separo dari harga di Jakarta.
Perjalan pulang di mulai dari Bandara Japura Tembilahan, kami naik SMAC menuju Bandara  Sultan Thaha Jambi, tidak melewati Bandara Pekanbaru.  Dari Jambi transit sebentar di Palembang terus ke mendarat Kemayoran Jakarta,

Backpacker ala Menwa
Sampai di Bogor, liburan masih seminggu lagi. Pengumuman kenaikan tingkat sudah ada di kotak surat Markas. Saya buka, saya  Lulus dan dinyatakan naik tingkat 3 dengan IP dua koma alhamadulillah, istilah untuk naik tingkat dengan IP pas-pasan.
Uyun-yg juga ikut rombongan survey terakhir, ngajak saya ke Bandung rumah dia, kebetulan  dia pengin ikut jalan-jalan keliling Jawa Timur, ikut saya pulang.

Ibuk dan bapak kebagian rezeki sedikit, saya bilang nggak bisa ngasih banyak karena uang yang saya terima akan saya pakai untuk bayar biaya hidup, dan bayar kos beberapa bulan lalu.


Tour keliling jawa timur, kami berusaha tetap berhemat,  model backpecker gitu lah, tidur di masjid atau di kantor polisi biar gak bayar, saya nggak berani foya-foya, perkuliahan masih panjang dan jauh.
Kami kunjungi kota Surabaya, Madura, Makam Bung Karno di Blitar, Makam Kusni Kasdut (penjahat Klas Kakap waktu itu) di Probolinggo dan tanpa balik lagi ke Pasuruan kami cabut ke Jakarta naik KA Ekonomi.
Naik KA Ekonomi inipun kami cari akal bulus biar murah.
Berdua kami pakai seragam menwa yang sangat mirip tentara itu-Cuma nggak ada pangkatnya, bersepatu lars hitam, lengkap dengan baretnya dan tak lupa kami menggunakan jaket korea yg terkenal itu, agar pangkatnya nggak kelihatan he he he..
Langsung masuk stasiun Pasarturi, nunggu beberapa saat, kereta tiba kami segera naik. 
Naik kereta tanpa beli karcis. Nah nggak pakai karcis itulah yang kami sebut sebagai penghematan ala menwa. 
Hanya saja kami tahu diri, kami nggak duduk di kursi, tapi kami duduk di bordes, beralaskan koran, duduklah kami di tangga KA itu. 
Ada dua kali pemeriksaan karcis, yaitu ketika akan memasuki stasiun Bojonegoro dan setelah melewati kota Tegal.
Setiap kali diperiksa, kami beri hormat dan tangan kami seolah-olah merogoh kantong baju agar dikira akan mengeluarkan kartu anggota (padahal anggota menwa he  he he). Pak Kondekturpun cukup bijaksana, memberi salam hormat kembali tanpa minta kartu anggota. Aman….hemat…

Inspiring
 Apa kabar MdM?
Saya tidak pernah melupakan dia, masih ingat cinta-metrika itu kan ?
pasal 75 bunyinya begini......
Perlu satu menit untuk jatuh cinta dengan seseorang,satu jam untuk suka dengan seseorang, dan satu hari untuk mencintainya Tetapi butuh seumur hidup untuk melupakan seseorang itu
Ya seumur hidup... tidak bisa melupakan dia....
biarlah, meskipun tidak pernah komunikasi, apalagi bertemu muka,
biarlah cinta itu menjadi misteri..... tanpa akhir......
Tanggal 12 April 1979, itulah tanggal yang tertulis diujung kanan atas, pada sepucuk surat yang saya tulis buat dia – MdM, enam tahun sejak perpisahan itu. Dimana alamat dia, saya sudah kehilangan jejak, tidak tahu lagi dimana dia sekarang.
Surat itu akhirnya hanya tersimpan dan diam membeku.
Tadinya saya bermaksud hanya pengin menulis saja, dorongan dari dalam hati ini rasanya meluap-bergejolak, ada rasa rindu dan ingin mengingatkan dia akan masa lalu terutama doa-doa waktu berpisah itu. 
Senang dan damai rasanya mengingat doa kami dalam perpisahaan itu.
Saya membayangkan seandainya kami bertemu, doa apalagi yang akan kami panjatkan secara spontan itu, ah sejuk hati ini rasanya.
Tapi entahlah nasib surat yang tak terkirim itu, akhirnya hanya menjadi inspirator pada tulisan saya di kemudian hari.
Dalam lamunan saya, seandainya, suatu saat nanti kami bertemu dan kami sudah menjadi dua keluarga yang berbeda, hanya dua keinginan saya, pertama, mengulang berdoa bersama secara spontan seperti dulu waktu kami berpisah dan kedua saya ingin tahu apa lagu kesukaan dia dan kami ingin manyanyikannya.....

Bangun - jatuh, jatuh lagi
Matahari  pukul Sembilan pagi itu terasa hangat ditengah kesejukan udara pagi diseputaran kebun raya Bogor. Pagi itu saya harus mengikuti seleksi sebagai asisten dosen ilmu Kewiraan, materinya tidak jauh dari kehidupan menwa sehari-hari.
Beberapa hari kemudian diumumkan di papan2 pengumuman setiap Fakultas dan Jurusan, nama saya tercantum disana sebagai asisten dosen bersama dengan nama2 asisten dosen mata kuliah yang lain. 
Surat pengangkatan resmi sebagai asisten dosen, saya terima kemudian, tercantum didalamnya hak saya untuk mendapat honor asisten selama satu tahun. Alhamdulillah…
Setiap tahun sekali dalam organisasi menwa ini ada regenerasi pengurus. Penggantian dilakukan mulai dari Komandan batalyon sampai ke Dandenma dan Kepala Seksi. Tahun ini nama saya tercantum sebagai Kepala Seksi IV Batalyon VII Mahawarman, membawahi urusan Logistik dan material latihan. 
Surat pengangkatan ini nggak main2. Ditanda tangani oleh Kolonel Inf. Gatot Suryadi, suatu posisi yang cukup bergengsi namun membawa konsekwensi yang berat. 
Ketentuan berikutnya adalah personil yang menempati Markas dan buat yang sudah tidak menjabat lagi harus keluar dari Markas, berarti saya mendapat jatah tempat tidur bersama empat orang lainnya, yaitu DanYon - Diederik, DanDenma-Sunaryo, Ka Sie I – IntelPam- Gatot dan saya sendiri-kaSie IV Logistik

Kuliah di IPB, tidak ada pilihan lain kecuali harus belajar dan belajar. Usahakan kegiatan-lain singkirkan dulu, termasuk organisasi2 yang tidak ada hubungan dengan mata kuliah. Itu pesan dari hampir setiap orang tua mahasiswa IPB dan itu serius diikuti benar.


Hampir tidak ada waktu bagi mahasiswa IPB untuk kegiatan lain, pagi kuliah, sore praktikum, malam responsi, hari sabtu ujian, hari minggu ada pertemuan konseling dengan dosen atau konselor. Sepanjang hari-sepanjang tahun kota Bogor dinaungi mendung dan hujan. 
Tidak ada mall, tidak ada plaza,  jadilah kami ini mahasiswa yang kutu buku, karena nggak bisa kemana-mana.
Sementara saya tidak bisa meninggalkan organisasi Menwa. 
Bagi saya biarlah saya nggak bisa meraih prestasi Sangat Memuaskan (SM) apalagi Cum Laude, yang penting naik tingkat, berapapun nilainya. 
Karena bagaimanapun saya harus komit bahwa saya harus bisa terus  kuliah di IPB sampai selesai, sementara yang membiayai hidup dan  kuliah, ya dari kegiatan menwa ini. 
Berat memang... tapi itulah hidup......berjuang apapun resikonya...

Kegiatan dan kektifan saya di organisasi rupanya dimonitor oleh fungsionaris MISETA, organisasi Mahasiswa Ilmu Ekonomi Pertanian. 
Waktu itu Ketua Umumnya Beny Pasaribu akan melakukan Praktek Lapang ke Daerah, sehingga kepengurusan menjadi fakum. 
Oleh karena itulah saya bersama 4 orang lainnya ditunjuk sebagai Anggota Presidium MISETA. 
Saya, Anton Martono, Sumardjo, Agus Hudoyo dan Agus Solihin. Kami sepakat menunjuk Anton sebagai ketua dan keempatnya sebagai wakil ketua Presidium.


Kesibukan menjadi semakin bertambah, disamping itu jadwal kuliah juga semakin berat. Itulah yang harus saya hadapi sebagai konsekwensi dari komitmen saya. Ini akan membawa resiko, saya siap menghadapi...

Ditengah kesibukan saya mengikuti kuliah dan praktikum di smester 6, kegiatan lain yang tidak boleh saya tinggalkan adalah penerimaan anggota menwa baru sekaligus program latihannya.
Miseta untuk sementara, saya monitor saja  dulu, toh masih ada 4 anggota presidium yang lain.

Sebagai Kepala Seksi Logistik saya bertanggung jawab terhadap ketersediaan material latihan menwa. 
Mulai dari hal yang tidak berat, misalnya mendatangkan pelatih sampai hal-hal yang memerlukan konsentrasi dan tanggung jawab penuh, misalnya peminjaman senjata laras panjang jenis garand dan pistol  ke Dandim Bogor.
Acara latihan setiap minggu berjalan lancar, namun mendekati  ujian dan long mars, sangat menyita tenaga dan perhatian saya. 
Pada saat yang sama saya harus mengikuti  ujian beberapa mata kuliah tertentu dan mempersiapkan KKN saya ke Desa Pamijahan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Rumit…
Kerumitan bertambah, ketika itu sedang acara long mars, pasukan dengan kondisi fisik yang lelah, perlengkapan personil  lengkap termasuk masing2 pegang senjata laras panjang yang cukup berat, melewati sungai yang airnya sedang deras  di daerah Ciawi. 
Satu persatu anggota pasukan menyeberang sungai dengan memegang seutas tali penolong, agar tidak terbawa arus. 
Adalah Gandi, ketika menyeberang, mungkin sudah sangat lelah, tangannya terlepas memegang tali penyeberangan, tiba-tiba pegangannya lepas, dia hanyut terbawa arus beberapa meter dan celakanya senjata garand yang dia bawa terlepas dan hilang.
Persoalan ini menjadi sangat panjang, hampir satu regu dikerahkan dari Bogor ke TKP, mencari senjata yang hilang tersebut, tidak ketemu.
Saya dan Komandan batalyon harus bertanggung jawab, beberapa hari bolak-balik tanpa mengenal waktu diinterogasi oleh Polisi Militer Bogor, intinya bagaimana senjata organik militer yang sangat berharga itu bisa hilang. 
Satu butir peluru saja hilang berita acaranya sudah begitu rumit, apalagi sepucuk senapan organik. Pasrah, padahal pada saat yang sama saya harus mengikuti ujian. 
Pikiran saya terpecah belah nggak bisa konsentrasi. Berurusan dengan Polisi biasa sudah  bikin pusing,  apalagi Polisi Militer…merinding kalau saya mengingatnya lagi.
Penyelidikan agak dilonggarkan menunggu radio gram dari Panglima Daerah Militer Siliwangi di Bandung, sementara di Lapangan Baranang siang sudah persiapan Upacara Pelepasan dan Pemberangkatan Mahasiswa KKN. 
Hampir terlambat saya tiba disana, untunglah masih bisa mengikuti acara dengan baik. 
Selesai acara, rombongan saya berempat menuju Desa Pamijahan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tapi sebelumnya, Mahasiswa yang KKN di kabupaten Bogor,  diterima oleh Bupat di balaikota Bogor untuk diberi pengarahan sebelum terjun ke desa-desa.
Tiga bulan kami KKN disana, kami sempat membina PKK, Menggalang Pramuka, membangun Taman Gizi, Melakukan Penyuluhan masalah pertanian dan Peternakan, mendirikan perpustakaan desa, membangun Pos Ronda atas swadaya masyarakat dan sebagainya.
Saat perpisahan adalah saat yang mengharukan, kami berpamitan, semua sedih, ibu-ibu berlinang air mata-menangis, seakan kami tidak boleh meninggalkan desa mereka. 
Mereka sudah menganggap kami adalah bagian dari mereka. 
Baru reda setelah kami menghibur bahwa kami akan datang lagi kemari suatu saat nanti, toh Bogor nggak jauh dari desa ini.
Pulang ke Bogor kami diantar rombongan pemuda desa sampai tempat kami dengan membawa hasil bumi bermacam, ada kelapa, singkong, papaya dan lain lain.
Pengumuman kenaikan ketingkat  4 saya harus ambil sendiri ke Departemen SOSEK.
Betapa terkejutnya saya, mata kuliah Usahatani tidak lulus, karena saya tidak mengikuti ujian dan celaka lagi 
saya harus mengulang setahun lagi ditingkat 3. Astaghfirullah!
Saya datangi dosen Usahatani DR. Samik Ibrahim, saya kemukakan masalah saya, saya ceritakan semua, tidak ada yang terlewatkan.
Sempat juga saya  sampaikan bahwa saya adalah Asisten Dosen, dan beberapa saat sebelum KKN sedang kena musibah masalah senjata ..itu...dengan harapan ada kesan bahwa saya ini bukan orang yang bodoh2 amat dan saya bukan type pemalas, saya mempunyai kesibukan bela negara... maksudnya biar ada pertimbangan sedikit..lah..?
tapi apa kata beliau..
“Kami tidak ada urusan dengan kegiatan anda, kalau mau lulus ujian, harus belajar dan ikut ujian, mohon maaf tidak ada yang perlu diperbincangkan lagi” kata beliau sambil berlalu
Hanya Mata kuliah Usahatani nggak lulus, saya harus mengulang lagi setahun?, apa nggak ada kebijakan yang sedikit manusiawi? 
Ah bodoh banget saya… 
Keledai saja nggak terperosok kedua kali pada kubangan yang sama…..
Saya tidak naik dua kali..? Ah… saya lebih bodoh daripada keledai itu…

Apakah di PT lain seperti ini ?, apakah tidak ada kebijaksanaan lain?, 
Apakah tidak ada kesempatan membela diri, kenapa sampai nggak ikut ujian? 
Kenapa sampai nggak lulus ?
kalau tidak lulus ya sudah ngulang, apa cuma begitu saja?.
Saya masih terus ingin protes, masalahnya, kalau saya ngulang setahun lagi pada tingkat 3 ini, saya sudah tidak punya penghasilan lagi.  
Honor asisten dosen sudah nggak ada, tinggal di asrama markas sudah harus berakhir, artinya konsumsi dan akomodasi sudah nol, tidak ada yang bisa membantu lagi.  
Apa saya harus men DO kan diri sendiri?
Bukankah D itu mempunyai nilai 1, kalau toh seorang mahasiswa misalnya harus mengumpulkan 144 kredit untuk menjadi sarjana, kenapa nggak ditambah saja mata kuliah lainnya buat dia, sehingga total 144 termasuk yang bernilai D itu, tanpa harus mengulang satu tahun pada tingkat yang sama. 
Ini penghamburan waktu yang sia-sia dan tidak produktif.
Percuma saja berdebat dan ujung-ujungnya dianggap minta kebijakan, saya ikhlaskan saja, ngulang ya ngulang apa boleh buat?
Mudah2 an para pemangku kepentingan di kampus IPB tercinta ini, bisa mengevaluasi proses belajar, dan hanya kami yang mengalami proses uji coba seperti ini.
Saya yakin proses dan jenjang belajar seperti ini kelak akan berubah, mengingat sudah tidak efisien lagi.

Rupanya langit cerah di Bogor pagi hari itu, waktunya hanya sesaat,  disaat tengah hari menjelang sore, mendungpun datang bergelayut siap mengirim air hujan dan menghanyutkan apa saja yang ada dipermukaan bumi ini.
Pada saat bersamaan saya harus keluar dari markas menwa, masa jabatan asisten sudah habis, peraturannya memang begitu. 
Menjadi gembel lagi, ngutang sana-ngutang sini lagi? Ah embuh..
Untungnya mental  ini sudah teruji, paling tidak saya sudah belajar bagaimana tidak cengeng, bagaimana tidak putus asa, walaupun sudah nggak punya apa-apa lagi.
Widya Castrena Dharma Sidha
Setiap anggota menwa dibekali dengan moto itu, yang terjemahannya “dengan ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan, kita sempurnakan darma bakti”
Setiap anggota Menwa digembleng agar memiliki jiwa yang tangguh, cerdas dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan dan ujian.
Saya bertekad pantang menyerah…. Apapun yang akan terjadi..
Allah tolonglah hamba……

Tangan Tuhan lewat keluarga Om Adi
Dorongan semangat dari kata-kata itu, bahwa kebanggaan hidup ini adalah bagaimana bangkit setiap kali jatuh,.....menjadi kunci buat saya. 
Untungnya lagi, saya masih ada simpanan buat beberapa bulan kedepan, baju-dan barang berharga yang pernah saya beli dulu masih saya rawat dengan baik, suatu saat, kalau harus dijual dipasar loak Bogor, saya sudah siap menjualnya, menjadi milik orang lain 
Saya tidak keberatan demi sesuap nasi, segenggam asa.
Hujan rintik-rintik mulai turun ketika saya memasuki halaman Markas,  di atas meja telpon tergeletak secarik kertas ada tulisan pensil, beritanya  Rudy dirawat dirumah sakit PMI Bogor karena usus buntu. 
Sehabis Sholat Ashar, saya segera  bergegas kesana,
“Hampir saja terlambat karena sudah parah” kata perawatnya
Dokter  yang merawat dan Saudara2 Rudy  akhirnya sepakat  dipindah ke rumah sakit di Bandung.
Beberapa hari kemudian, setelah dia sembuh  saya diajak ngobrol di rumah kos baru dia di daerah Kedung Halang Talang Bogor.
Cerita punya cerita Dr Adi Rohmat yang ikut merawat di PMI itu, adalah masih kerabatnya dari keluarga Ibunya, walhasil, dia disuruh tinggal di Kedung haling rumah Dr. Adi ini.
Kami manggilnya Om Adi, seperti Rudy memanggil beliau.
Pak Budi  adik beliau,  punya peternakan ayam di Ciawi dan Farm Managernya sedang cuti sakit, jadi farm ini kosong nggak ada pengawasnya. 
Mula2 Rudy ditawarin disana karena dia juga mahasiswa fakultas peternakan cocok ilmunya.
“Terima kasih Om, saya dipercaya untuk mengawasi disana, tapi  ada orang yang lebih membutuhkan daripada saya” kata Rudy sambil menyebut nama saya
“Coba tanyain ke dia apakah dia mau?, atau suruh aja dia kesini” kata om Adi waktu itu
Saat kedatangan itulah saya ditanya langsung oleh Om Adi, tanpa pikir panjang, namanya rezeki saya terima dengan senang hati dan saya mengucapkan terima kasih yang tulus.
Alhamdulillah lagi-lagi Allah hadir mengulurkan tangan lewat Om Adi, saat saya pasrah tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

Desa Banjarsari Ciawi Bogor, disanalah CV Broleka berada, terletak di kaki gunung Pangrango, hawanya sejuk pemandangannya indah. 
Nampak terlihat - nun diatas sana, di desa Tapos, ada bangunan  peternakan dan ladang pengembalaan  milik presiden Soeharto yang sangat dibanggakan itu.
Dari farm ini ke kampus kampus baranang siang jauhnya sekitar 25 km ditempuh dengan naik angkot sekitar 30 menit. Disanalah saya harus tinggal.
Ada Mang Udin, Soleh, Misbach  dan Unuk sebagai crew kandang, serta pak Masin penjaga keamanan. Mereka kerja siang hari kecuali ada vaksinasi. Hanya Mang Udin yang tinggal dibagian belakang peternakan ini, yang lain tinggal di kampung belakang farm, sementara Pak Masin menjaga malam sampai pagi tiba.

Selesai Sertijab-Serah terima jabatan di Markas Menwa, saya bawa barang dan buku2 pindah kemari, rumah dinas yang disediakan ini akhirnya boleh saya tinggali sendirian setelah Mang Jaja, Farm Manager yang dulu, mengundurkan diri.
Bangun pagi cek ke kandang, apakah air minum dan pakan untuk ayam sudah beres, kemudian cek ke gudang untuk persediaan pakan apakah cukup sampai minggu ini. 
Catat informasi yang diperlukan, berangkat kuliah sambil lapor ke boss di Fakultas Peternakan, kantor beliau.
Kegiatan rutin di kandang ayam broiler ini sudah mirip industry, ada 8 unit kandang yang secara sistematis diisi anak ayam (DOC) setiap minggu. 
Umur ayam yang dipelihara sejak kecil sampai dijual adalah 6 minggu, dengan demikian setiap minggu ada ayam yang keluar untuk dijual dan ada DOC yang masuk. 
Satu kandang dibersihkan dan diistirahatkan satu minggu.
Jadi selain ada jadwal rutin harian ada jadwal rutin mingguan. Membersihkan kandang dari litter dan kotoran, menyiram dengan desinfektan, menyiapkan pemanas, memasukkan DOC ke kandang sambil divaksinasi, adalah kegiatan rutin mingguan. 
Sedangkan rutin bulanan adalah gajian dan saya ikutan mendapat gaji tersebut.
Jadwal harian nggak ada masalah, kadang kadang yang bentrok dengan jadwal kuliah adalah jadwal mingguan. Dengan Cuma empat karyawan plus populasi ayam 30.000 ekor, kadang2 keteter juga, terpaksalah Farm Manager sementara ini turun tangan. 
Apalagi jika akan ada ujian, tangan kiri membawa sekop untuk membersihkan kotoran ayam, tangan kanan bawa catatan kuliah yang akan diujikan. Repot memang, tapi Alhamdulillah yang penting saya nggak kesulitan makan dan tempat tinggal. 
Begitu juga vaksinasi DOC, satu persatu anak ayam dipegang kemudian divaksinasi dengan cara tetes mata. Lima ribu ekor dipegang dan ditetesi, ini bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam, selesai tengah malam, tiap minggu rutin.
Lama-lama tenaga dan waktu terkuras juga rasanya, kalau ini saya biarkan bisa fatal. Kesempatan saya kuliah tinggal sekali ini saja. Jika gagal lagi, tidak ada ampun harus DO, keluar dari IPB tanpa gelar. Ih ngeri sekali, takut saya membayangkan. Apa akal?
Saya krim surat ke orang tua di Wonorejo panjang lebar, akhirnya pada kesimpulan, adik saya yang no 4 Anang namanya baru lulus SMA, diperbantukan ke Ciawi sambil membawa seorang pembantu.
Kedatangan mereka dapat memecahkan masalah, paling tidak, saya bisa makan tanpa masak sendiri, cuci baju beres dan yang penting farm ini ada yang jaga dan ada yang bantu bersihkan kandang, Beres.
Saya bisa konsentrasi  belajar lagi sambil membenahi akunting farm. Dari sinilah saya bisa mempraktekkan system akuntansi yang berlaku di perusahaan peternakan, sebagaimana ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah.
Ditempat yang sunyi dan sejuk ini membuat temen pada senang berkunjung kemari, Uyun, Anto dan Hery sering ngumpul bahkan berhari-hari disini. Saya senang juga karena ada teman belajar.
Grup lain yang sering kumpul disini adalah Joko dan Wisnu dengan VW kodok warna biru itu. Wisnu yang ayahnya kerja di BRI itu tinggal di Yogya, suatu ketika dengan VWnya kami berlibur kesana bertiga.

Bulan demi bulan berjalan dengan damainya, waktu itu, saya sarankan agar adik saya mau kuliah,  dia setuju dan mulailah dia menjadi Mahasiswa di Universita Pakuan Bogor dengan bangganya, mengiringi saya naik tingkat IV dengan IP kembali dua koma Alhamdulillah.

Namanya resiko usaha, rupanya bisa terjadi dalam usaha apa saja, tidak terkecuali dibidang peternakan ayam broiler ini.
Pulang dari kuliah saya dikejutkan oleh laporan adik saya bahwa mulai tadi siang banyak ayam yang mati dan sudah dilaporkan ke P. Budi oleh adik saya lewat telpon. 
Beberapa orang dokter hewan didatangkan, ternyata memang lagi ada wabah  penyakit Gumboro dan Coccidiosis bersamaan.  
Penyakit Gumboro disebabkan oleh virus yang menyerang kekebalan, tubuh ayam jadi lemah. Saat bersamaan ada serangan penyakit coccidiosis, virus yang menyerang lambung ayam. Ayam yang terserang penyakit ini, tiba tiba  meloncat tegak lurus keatas dan brugg jatuh, langsung mati dan ketika dibedah, lambungnya penuh dangan darah segar. 
Penyebaran kedua penyakit ini lewat udara dan sangat cepat.
Tindakan yang dilakukan adalah membakar bangkai ayam yang mati dan menguburkan ditempat yang agak jauh. Sementara yang masih hidup dan bisa dijual, dijual segera. 
management memutuskan bahwa farm dikosongkan sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan.

OJOL
Dalam keadaan yang memprihatinkan itu, perusahaan mengambil kebijakan bahwa seluruh karyawan-yang 3 orang itu, dirumahkan termasuk saya, dan gaji disesuaikan alias dipangkas mendekati titik nadir. 
Hal ini karena perusahaan sedang vakum tidak ada kegiatan.
Padahal  saat itu saya sedang mulai menyusun  paper tugas akhir. Gaji jauh berkurang, hanya cukup untuk makan berdua plus pembantu. 
Saya harus putar otak lagi agar kebutuhan bisa tercukupi kembali. 
Hery punya ide, kebetulan kami punya freezer untuk menyimpan vaksin. 
Kami memasak kacang ijo, ditambah air agak banyak yang penting manis terus masukkan ke dalam freezer, jadilah es mambo. 
Kemudian es mambo ini kami antarkan ke warung-warung dekat sana untuk dijual dengan system konsinyasi. Sore hari diambil, yang laku dibayar, yang tidak laku dibawa balik ke kandang. 
Hasilnya lumayan, karena barangkali selain tidak ada saingan, rasanya dijamin enak, karena yang bikin adalah calon-calon sarjana he he he.
Saya akui temen saya  yang satu ini, pinter dan kreatif. Dia adalah anaknya Prof. Suhadi Hardjo (Dosen Fatemeta IPB), berhari-hari nggak pulang tinggal di farm ini katanya dia senang.
Dia pakai mobil fiat kuno yang tidak dipakai lagi oleh bapaknya. saking kunonya dijual rombengan/kiloanpun nggak ada yang nawar, berat di ongkos. 
Sedikit demi sedikit dia betulin dengan cara kanibal. Spare part mobil lain asal skrupnya cocok, main tempel aja, yang penting mesinnya hidup dan bisa jalan.
Dia namai mobilnya itu si OJOL. Kalau ada penumpang mau masuk atau keluar  mobil, pintunya diangkat dulu, karena engselnya sudah nggak ada dan nggak bisa pakai sisitim kanibal... walah..
Kalau hujan wipernya ditarik dengan tali raffia kiri kanan, katanya spare partnya sudah nggak ada yang jual.

Suatu hari saya jalan-jalan sama dia ke puncak naik si Ojol, pas ditikungan kebun teh, mobil direm mendadak, wuiiih… ban depan kiri lepas dan ngglinding sendiri, saya lari-lari ngejar ban sial itu. 
Kebetulan si Uyun lagi naik bis mau ke Bandung, dia tereak2 nggak jelas dari atas bis sambil cekikikan, bukannya nolongin he he. 
Eh ternyata dia turun juga dari bis, ikut bantu nyariin bannya si ojol. Setelah ketemu dan dipasang dia naik bis lagi cabut ke Bandung.
Hery pernah  juga menciptakan alat pengikat plastik es. Dia ciptakan karena kami kesulitan mengikat es mambo. 
Kalau diikat pakai karet rasanya pahit, kalau dipelintir, isinya menjadi kurang sedikit.
Dengan alat ini, plastik yang sudah diisi kacang ijo itu, ujungnya  dipelintir, kemudian dimasukkan ke alat tadi, kaki menginjak bagian pedal dan slegg… jadilah ujung plastic es mambo tadi terlipat.
Alat ciptaannya tadi sangat membantu. 
Pekerjaan yang tadinya sulit itu, dapat diatasi dan produksi bisa ditingkatkan dalam waktu yang sama. 
Iseng-iseng kami berseloroh, gimana kalau alat tadi kita patenkan..?? ha ha ha
Ada saja idenya. suatu hari dia baru pulang dari dermaga, rumahnya, dia nyerahkan sobekan kertas yang ada coratan tangan. Ternyata isinya resep ayam panggang dari bapaknya.
"Saya namai resep ini, ayam panggang Canton... bacanya Kanton.
Kami beli ayam seekor-karena stok ayam di kandang sedang kosong,  sebagai bahan percobaan daripada ayam panggang tersebut.
Selesai dimasak dan dibakar, kami coba cicipi.. widiiiihhhh rasanya mak nyus.. enak tenan.. top markotop. sip markusip... gud marsugud  he he he..
Sampai saat ini, setiap ada acara kumpul2 dirumah maupun tempat kumpul2 lainnya, saya menyajikan masakan ini... ternyata komentar orang yang mencicipi, seperti  diatas tadi. 
Tidak ada yang tidak suka masakan ini. Bahkan ada salah seorang teman saya, tadinya sama sekali nggak suka ayam, ketika diceritain tentang cita rasa ayam panggang ini, dan coba mencicipi, wah dia langsung suka dan nambah makannya.
kalau pengin tahu resepnya seperti ini nih..
Bahan2 : ayam 1 ekor
Bumbu : Kecap manis, Mrica, Bawang Putih, Sambel Saus, Garam dan Rum Meyers
Cara memasak : Ayam dipotong kecil/sedang. Bawang putih dan mrica dihaluskan dan masukkan kedalam kecap manis ditambah Bumbu2 lainnya. Taruh diatas kompor dengan api sedang, tunggu kira2 dua puluh menit sambil dibolak balik agar masaknya merata. 
Selesai, langsung dipanggang sebagian demi sebagian. Matang dan hidangkan.
Selamat mencoba.
Saat ini Hery kawan saya itu, sudah pindah  ke Belanda dan menjadi warga Negara sana. 
Profesinya sebagai programmer computer yang produknya dipasarkan keseluruh dunia.

Tamu biadab tak diundang
Seiring dengan pemulihan ekonomi peternakan, kegiatan es mambo perlahan-lahan surut. Kesibukan berupa jadwal harian dan mingguan mulai sibuk, hal ini menandakan roda perekonomian sudah mulai pulih kembali, berarti tanda tanda kehidupan ikut membaik.

Malam semakin sunyi, burung hantu sudah mulai sering mengatupkan matanya, sementara kelelawar masih terbang kesana-kemari mencari  mangsa.
Hery dan adik saya Anang baru saja tertidur sehabis diskusi panjang lebar entah apa saja yang diperbincangkan, saya masih harus mengetik menyelesaikan beberapa lembar lagi paper saya.  Pembantu sudah hampir sebulan ini pulang kampung karena ada keluarganya yang hajatan.
Pagi tadi saya sudah konsultasi dengan Dosen Pembimbing Prof. Soeharjo, ada beberapa analisa yang harus dipertajam dan data yang ada, agar di update. Tidak sulit, karena saya melakukan Praktek lapang di Perusahaan saya bekerja ini dan tugas akhir saya adalah dalam bentuk Paper yang saat ini saya susun. Paper ini pada waktunya nanti akan diuji oleh beberapa dosen sebagai penguji. Namun sebelum itu, paper ini diseminarkan terlebih dahulu disuatu forum terbuka dihadiri oleh Mahasiswa dan Dosen.

Saya lihat sudah jam 12 lewat, saya merasa lelah sekali, berkali-kali menguap dan belum sempat merapikan ketikan saya yang terakhir tadi, saya sudah ikut tertidur. Mesin ketik inventaris kantor itu masih terselip kertas, belum sempat saya ambil, toh besok masih saya pakai lagi.
Sulitnya pakai mesin Tik, satu kata saja salah, maka harus mengulang satu lembar, tidak ada cara lain. Karena itulah lamanya bikin paper karena faktor yang kayak begitu. Belum lagi kalau nggak ada mood untuk nulis.
Rata-rata temen mahasiswa biasanya menyuruh tukang ketik untuk menulis, mereka siapkan bahannya dan serahkan tukang ketik beres.
Perasaan mata ini baru terlelap, tiba-tiba ada suara orang mendobrak pintu dengan kasar. Ternyata benar  ada sekitar 5 orang masuk rumah dengan muka tertutup-seperti ninja, tangannnya menghunus pedang dan pisau mengkilat. 
Tanpa ba bibu, mereka mengikat tangan kami bertiga diatas kasur, sambil mengancam akan membunuh kami bila kami berteriak.
Radio, baju-baju, Jaket Korea sepatu, kalkulator dan…. Mesin ketik yang masih ada tulisan sedikit itu semua dibawa oleh perampok itu.
Masih tidak puas dengan hasil jarahannya itu, salah seorang dari mereka bertanya
“Kalian taruh dimana uang2 kantor heh?”
“Kami nggak bawa kang..” kata saya sambil berharap belas kasihan
“Bohoooong” katanya sambil tangannya menapar muka saya
Kami bertiga masih diam diatas kasur sambil tangan diikat, tidak berani berbuat apa-apa. Kasur yang kami tiduri itu diangkat kiri kanan. Sampai kami bertumpuk kesana kemari.
Peti Kas yang saya sembunyikan diantara tumpukan baju ditemukan oleh mereka, uang yang ada dikuras habis.. Isinya kira-kira ada 260 ribu rupiah..
Dompet2 kami pun digeledah, nggak ada uangnya, makin gusar mereka.
Mereka keluar, sunyi, sepi nggak kedengaran apa2, mungkin mereka sedang siap-siap mau pulang atau pergi ketempat lain.

Saya dan Hery saling membelakangi, tangan Hery mencari simpul tali yang mengikat tangan saya.  Tangan bisa terlepas, eh belum sempat lega, salah seorang mereka masuk lagi…. 
Waduh celaka....., tangan saya diikat lebih keras lagi sampai  sakit rasanya pergelangan ini. 
Setelah itu mereka kabur.
Tangan saya sudah sulit dibuka, kini giliran tangan adik saya yang dibuka oleh Hery dan berhasil. 
Dengan tangan bebas adik saya membuka ikatan tangan Hery dan mereka bersama-sama membuka ikatan tangan saya.
Kami nggak berani langsung keluar, mengamati suasana dulu, setelah benar-benar aman baru kami keluar. Yang kami lihat dulu adalah kondisi Penjaga malam P. Masin. 
Beliau terlihat duduk dikursi didalam kantor dengan mulut disumpal dengan buah papaya mentah, kedua kaki  dan tangan diikat dengan kawat baja.
Kami buka ikatannya dan keiihatan dia shock.
Kami berteriak sekuat kami berteriak di kegelapan malam. Hampir jam 3 pagi saat itu.
Teriakan suara kami sekeras itu seakan hilang ditelan malam, tiada gema sama sekali tidak ada satupun orang yang datang menolong
Mungkin ada yang lapor, pagi itu Polisi datang dengan membawa anjing pelacak, wartawan dari berbagai media. Awalnya diwawancarai wartawan ada rasa senang, tapi lama-lama bosan juga, yang ditanyai itu-itu saja dan jawabannyan itu-itu juga.
Ternyata malam itu ada tiga kejadian serupa, berupa perampokan sadis  yang menimpa desa ini. Berita tersebut saya dapatkan dari wartawan2 yang mewawancarai itu.
Hari  itu Hery dijemput Bapaknya suruh pulang, adik saya juga minta ijin pulang kampung dan tinggallah saya sendiri.
Keesokan harinya beberapa surat kabar ibukota merilis berita itu, temen dan kenalan pada berdatangan ikut bela sungkawa.  Dalam kesendirian ini saya betul2 merasa cemas dan khawatir, jangan2 rampok itu datang lagi, sakit hati gara dia baca di Koran misalnya.

Apalagi kalau malam hari, suasana begitu mencekam, suatu saat saya berjanji, kalau selesai pelantikan sarjana nanti ada perusahaan yang memanggil saya bekerja, saya akan datang memenuhi, apapun jenis usahanya, agar saya bisa keluar dari rasa cemas ini.

Saya coba datangi Emma dan Endang kerumahnya, ternyata mereka sudah lulus,  Endang sudah pindah ke London menjadi Warga Negara Inggris dan Emma menjadi warga Negara Belanda, tinggal di Amsterdam, mereka pindah kesana ikut suami masing2.

September Ceria
Sambil mengumpulkan bahan paper yang berantakan, akibat kebiadaban perampok yang tak berperikemanusiaan itu, saya mulai susun lagi tugas akhir
Jadwal ketemu dosen pembimbing hari Rabu seperti biasa jam 10 pagi.
Bersyukur saya mendapat Dosen pembimbing yang sabar ini.
Prof. Dr. Ir. Soeharjo Msc. adalah seorang guru besar dibidang ilmu Ekonomi Pertanian. Selain pintar beliau sangat disipin dan wawasannya yang luas.
Saya dibimbing oleh beliau bersama satu teman laki-laki namanya Esti Wiseto.
Setiap menghadap, kami harus menunjukkan buku khusus diberi nama Buku Kemajuan Tugas Akhir,. Isi buku tersebut adalah apa yang ditugaskan oleh beliau, sehubungan dengan koreksi atas naskah paper yang kami tulis.
Dengan begitu kemajuan penulisan akan termonitor dan tidak akan terjadi pengulangan masalah yang nggak perlu.
Pernah suatu kali kami terlambat menghadap, beliau mengatakan dengan suatu sindiran yang halus,...
"kalau nggak punya weker atau jam yang bisa bunyi dirumah... pelihara saja seekor ayam jago. Setiap pagi subuh dia pasti akan berkokok dan akan membangunkan kita....."
Duh malunya...kami berdua cuma bisa nyengir aja, dan dalam hati mengakui salah dan seharusnya memang setuju..begitu.
Awalnya saya ingin menulis dalam paper itu, suatu analisa, kapan atau pada umur berapa, anak ayam broiler itu pada titik optimum menguntungkan ketika dijual. Parameternya adalah Feed Conversion (FC), lama pemeliharaan, harga pakan dan harga jual ayam saat analisa.
Atau intinya, pada umur berapa atau pada berat berapa ayam sebaiknya dijual agar keuntungan optimum.
Dasar pemikiran saya adalah:
Bahan baku yang paling banyak dibutuhkan adalah Pakan 60-70%
Feed Conversion untuk strain dan lingkungan tertentu rata-rata 2.0, artinya setiap 1 kg berat ayam membutuhkan 2 kg pakan. Jika lebih dari 2.0 tidak efisien artinya ada pemborosan. Angka pada FC ini akan menjadi pembanding.
Pada saat tertentu, berat ayam tidak akan bertambah secara signikan walaupun makanan tetap diberikan.
Hal ini bisa menyebabkan kerugian yang disebabkan terlambat dalam menjual.
Sementara itu untuk ayam yang terlalu berat sulit pemasaranya alias kurang laku.
Analisanya menggunakan regresi linier
Saya sampaikan ini, karena saya menguasai data-data untuk analisa itu dan bisa saya dapatkan di tempat saya bekerja.
Dengan sabar beliau mengatakan
"Kedengarannya itu ide cukup bagus, masalahnya analisa pustakanya mestinya lintas disiplin ilmu, berkaitan dengan fakultas peternakan, saya fikir ini cocok untuk master anda nanti"
Saya pikir lebih baik nurut beliau saja, tidak usah terlalu ambisius, yang pada akhirnya akan merepotkan diri sendiri dan orang lain.
Akhirnya disepakati materi yang harus saya susun adalah Analisa struktur Biaya antara Farm Menengah-Besar dengan  Peternakan Kecil.
Hasil analisa ini kelak akan menjadi bahan penyusunan kebijakan, bagaimana suatu peternakan dengan pola peternakan yang dikelola oleh rakyat dalam skala kecil dapat dikembangkan  sedangkan bahan baku dan pemasaran dilakukan oleh perusahaan besar.
Setelah mengalami berpuluh kali perbaikan dan revisi, akhirnya hari itu beliau membubuhkan koreksi terakhir dan mengatakan,
"Buatlah ringkasannya (paper), saya tanda tangani dulu  dan serahkan ke panitya seminar"
Sudah beres..? belum...
Sebulan kemudian  dalam suatu forum terbuka, seminar tentang paper saya dilaksanakan.
Bertempat aula Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, dihadiri oleh rekan-rekan mahasiswa tingkat akhir, beberapa dosen  dan panitia seminar.
Pada hari yang sama, ada dua lagi mahasiswa dengan materi lain, maju seminar, berarti hari itu ada tiga mahasiswa yang deg-degan termasuk saya.
Tiba giliran saya presentasi, lancar..kemudian sanggahan-sanggahan datang bertubi-tubi.
Mereka bertanya dengan gaya khas  mahasiswanya, berapi-api dan berusaha mementahkan masalah
Satu demi satu pertanyaan dan sanggahan saya jawab dengan emosi terkendali, saya masih bisa mengontrol situasi, karena saya berhari-hari, bertahun-tahun, memang menggeluti dunia yang saya presentasikan itu, sehingga teory dan logikanya saya dapat.
Akhirnya seminar  berjalan lancar, aman  dan terkendali.. he he he
Selesai seminar, satu langkah lagi menuju gelar sarjana. Ujian Skripsi
Pengujinya adalah Prof. Dr. Ir. Soeharjo MSc, beserta dua orang Dosen yang lain.
Pertanyaannya tidaklah sekeras waktu seminar dulu, kali ini lebih dititik beratkan pada integritas seorang calon sarjana, antara lain:
Benarkah saya sendiri yang menyusun skripsi ini?
Apa hubungan antara materi kuliah yang saya dapat dengan studi kasus ini?
Apakah saya mengerti dan fahami apa yang saya tulis itu?
Apakah tahu konsekwensinya jika tulisan ini salah?
Apakah benar tulisan ini bukan plagiat atau menjiplak paper orang lain?
Apakah referensi atau pustakanya cukup mendukung terori yang saya paparkan? Buktikan!!!
Dimana, kapan dan berapa lama saya melakukan penelitian ini? jangan-jangan fiktif...
Dan bermacam-macam pertanyaan lain-lainnya
Hampir dua jam sudah saya diuji, para guru besar yang terhormat itupun sudah melipat buku, suatu tanda ujian ini segera berakhir.
Prof Soeharjo berdiri menyalami saya mengucapkan selamat, diiringi kedua guru besar yang lainnya.
Ujian selesai dan saya dinyatakan lulus menjadi SARJANA, alhamdulillah hirobbil allamin..
Keluar dari ruang ujian, suasana sepi tumben.
Sambil menenteng buku catatan, saya berjalan mendekati kolam kecil dipojok kiri di halaman tengah menuju pintu keluar mau pulang.
Tiba2 ada benda menyentuh punggung saya, terasa keras kemudian meleleh... wah telor ayam busuk lagi.. he he. he
Nggak lama kemudian banyak temen-temen pada datang berbondong-bondong. Ada yang datang persis dari pintu depan, beberapa dari sayap kiri dan nggak sedikit yang tadi sembunyi dibalik ruang dosen.  Lima orang megangi saya, diangkat dan diceburin ke kolam...horeee.suasana jadi meriah seperti ada karnaval....
Saya nggak bisa dan nggak boleh marah, memang itu tradisi kami, barang siapa selesai ujian skripsi, tidak ada ampun langsung ceburin ke kolam dan dilempari apa saja yang ada pada mereka, telor busuk, bedak atau tepung, lumpur pokoknya segala macam yang bikin orang mukanya jadi jelek belepotan.  ha ha ha
Begitu bahan yang akan dilempar habis, nah hayo... giliran saya mendekati mereka... ha ha ha
Mereka kabur berlarian menghindar.. cewek2nya pada menjerit.... ketakutan kalau saya dekap, biar ketularan bau busuk he he he

Dengan menggunakan mesin ketik pinjaman, saya merapikan skripsi saya. bahkan untuk mendapatkan hasil yang bagus, saya upahkan ke tukang ketik profesional, agar hasilnya lebih yahud.
Skripsi yang sudah diketik rapi oleh ahlinya, saya copy beberapa exemplar dan dijilid sekaligus untuk dibagikan ke Jurusan Agribisnis, Departemen Sosek, Fakultas Pertanian dan IPB serta untuk temen tertentu sebagai kenang-kenangan dan koleksi pribadi.
Tinggallah kami menunggu saat wisuda di bulan September itu. Karenanya kami memberikan nama pada saat itu, dengan sebutan  SEPTEMBER CERIA

Bapak dan Ibuk datang ke Ciawi dalam rangka menghadiri acara Pelantikan Sarjana.
Acara Pelantikan dilaksanakan di gedung olahraga IPB Darmaga Bogor.
Ada rasa haru dan bangga saya lihat di wajah kedua orang tua saya itu.
Bagaimanapun kebahagian ini saya persembahkan kepada bapak dan ibuk tercinta.
Lagi-lagi dalam suasana bahagia itu, sekelebat wajah MdM melintas diingatan saya, betapa tajam matanya, senyum manisnya dan tentu jempolnya itu yang membuat saya rindu.
Hampir sebulan bapak dan ibuk berada di Ciawi, sempat saya ajak jalan-jalan ke Jakarta, Ancol dan Taman Mini  sebelum pulang ke Wonorejo.

Sayup-sayup lagu Vina Panduwinata.....menambah syahdunya suasana
September ceria... September ceria...
untuk kita bersama....



3 komentar:

kapan2 klo mas jalan2 ke ciawi mengenang ms lalu mampir k kantor kec ciawi dsn ada omnya mas hendra nmnya mang udin, 3th yg lalu ak ksn n disana ada bnyk kel mas hendra.

Aku baca kisah yang kau tuangkan dalam tulisanmu yang mengalir, aku menikmati membacacanya, ini kisahmu beneran mBang? Dulu aku melihat anda orang yang cukup ceria, tidak menampakkan adanya masalah yang rumit dalam hidup. Ternyata ........... Aku tidak peka ya .........

Udah kubaca sebagian....gileeeeee, dibalik keceriaanmu tersimpan kesan yang amat dalam!!!!!
Emma, di Belanda

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

RINGKASAN TULISAN

Kisah dalam Blog ini saya mulai dari saat kecil saya. Peristiwa yang tidak bisa saya lupakan adalah hujan abu, ketika gunung agung di Bali meletus, ini membuat desa saya selama 3 hari 3 malam serasa malam, karena gelap terus sepanjang hari. Peristiwa G-30-S PKI adalah peristiwa berikutnya yg pernah saya alami dan terasa miris dan memilukan.

Sekolah SMP saya letaknya disebelah barat lapangan besaran. Luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan itu ada bangunan tua, bekas rumah atau kantor pejabat pemerintah Hindia belanda. Disana bangunan SMP saya itu berada.

Siswi baru itu ternyata pindahan dari sekolah lain. Sopan dalam bicara, santun dalam bersikap. Putih bersih kulitnya. Teman saya memberi julukan si Mutiara dari Masamba. Di bagian ini saya curahkan betapa cinta itu memberi energi yang luar biasa.

Dibagian cerita ini, saya merasakan begitu bahagia. Masa SMA adalah masa terindah. Agaknya saya berbeda dengan yang lain, karena di saat ini biasanya cinta itu tumbuh. Namun saya merasakan keberhasilan yang lain selain cinta. Bagi saya, cinta itu masih melekat dari masa sebelum ini.

Jatuh dan bangun dalam kehidupan saya rasakan disini. Sampai saya punya pendangan bahwa kebanggaan saya bukan karena tidak pernah gagal, tapi kebanggaan saya adalah bagaimana bisa bangkit setiap kali jatuh.

Adalah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, intinya menceriterakan bahwa di IPB ternyata tidak sedikit anak yang gak mampu dalam segi biaya seperti saya. Tulisan ini dikutip dari Majalah TEMPO 24 Januari 1976.

Adalah kumpulan kata mutiara cinta, ada sekitar 105 pasal. Anda dapat menambahkan kata mutiara cinta milik anda disini, kalau pengin lihat hasilnya Klik disini.

Blogger Template by Blogcrowds