Kota Hujan
Bunyi roda kereta api menderit beradu dengan besi lurus yang sangat panjang-rel. Ini Awal perjalanan menuju Kota Bandung untuk selanjutnya ke Bogor sebagai tujuan akhir. Sebelah saya Rudy, mulai merasa ngantuk, semalam ia begadang sampai mendekati pagi, ngobrol tak habis-habisnya dengan temen-temen yang sebentar lagi akan mengikuti test masuk perguruan tinggi di Surabaya.
Sudah beberapa jam berlalu, tapi syair itu kadang masih berkelebat di pikiran saya Sedang apa dia sekarang, Masih ingatkah ia akan masa-masa yang indah itu. Ah pikiran saya jauh menerawang ketempat dimana si Mutiara itu sekarang berada. Ada sebait cerita yang ingin saya sampaikan, tentang keberhasilan, tantangan dan perjalanan dalam menggapai asa. Saya hampir merasa putus asa untuk dapat ketemu dia. Sejak awal SMA itu beritanya sudah tak terdengar lagi, saya betul-betul kehilangan sosok mutiara yang saya kagumi itu.
Mentari sudah terbenam di ufuk barat, Kereta ini rasanya begitu lamban, tak sanggup lagi untuk mengajak lebih lama bercengkerama dengan sang mentari itu.
Setelah makan, membeli dari penjual yang hilur mudik, saya juga tertidur, tapi sebentar-sebentar bangun karena goyangan kereta yang mengganggu..
Pertengahan Desember 1976, kota Bandung tidak berbeda dengan kota-kota lain di pulau jawa, hujan tiap hari. Konon orang tua-tua bilang desmber adalah gede-gedenya sumber, jadi hujan terus.
Beberapa hari di Bandung sebagai awal perjalanan panjang, tidak ada sesuatu yang luar biasa, hanya pada hari pertama sampai disana, suatu sore yang sejuk, pembantu rumah yang kami kunjungi ini, menyuguhkan teh, hangat. “Wah asyik nih” pikir saya
Begitu saya sruput, waduh kaget bukan kepalang, ternyata tehnya itu pahit tanpa gula. Ini pengalaman baru buat saya karena seumur-umur, minum teh tanpa gula ya sekarang ini.
Posting Komentar