Selamatkan Pelajar Teladan & Pupus Harapan (Oleh: Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion)

Majalah TEMPO, 24 Januari 1976


Pada akhir tahun lalu, pelajar-pelajar SMA Paspal (IPA, ed) kelas III yg berprestasi baik telah diundang menjadi mahasiswa IPB, bebas dari ujian saringan masuk. Kepada mereka ini pun diberikan keringanan membayar SPP. Tidak terduga sebelumnya, tindakan ini mengungkapkan beberapa kasus yang patut mendapat perhatian kita semuanya.

Seorang pelajar tertentu sewaktu masih di SD diangkat anak oleh gurunya sendiri, karena ia setiap pagi datang terlambat ke sekolah. Untuk pergi ke sekolah ia memerlukan waktu berjalan kaki selama tiga perempat jam. Pulang dari sekolah ia masih harus membantu ibunya menjajakan penganan. Setelah diangkat anak oleh gurunya, prestasinya meningkat sampai akhirnya dapat lulus sebagai pelajar teladan dari SMA.

Sewaktu diundang ke Bogor, guru SD bapak angkatnya dengan bersusah payah membekalinya dengan uang SPP sebesar Rp 10 ribu. Tetapi biaya menginap di Bogor, ia (guru itu) tak mampu membayarinya. Untuk itu ia meminta jasa baik seorang bintara polisi. Maka menginaplah pelajar teladan itu di kantor polisi satu malam sebelum ia keesokan harinya mendaftar di IPB. Mudah-mudahan ia tidak menginap di kamar tahanan yang kebetulan sedang kosong. Agaknya keadaan pelajar itu terdengar oleh Bapak Bupati Kepala Daerahnya. Dengan segera surat keputusan ikatan dinas keluar baginya, sehingga ia sekarang sudah mulai tenang.

Kisah diatas baru saya ketahui setelah semuanya beres. Tetapi saya sangat berterima kasih kepada beberapa Kepala SMA yang telah mengirim pelajar teladannya yang tidak berada atau sangat sempit dalam bidang keuangan, ke IPB, dengan membayari SPP dan biaya perjalanannya sambil memberitahukan bahwa kelanjutan permasalahan di Bogor dapat diatasi oleh IPB. Bahkan dari suatu SMA DKI Jaya yang katanya sudah bersifat sangat metropolitan itu, para guru telah ber-iuran  mengumpulkan uang Rp 15 ribu. Sebesar Rp 10 ribu untuk SPP dan lima ribu untuk biaya hidup pada minggu-minggu pertama, bagi anak seorang janda yang mempertaruhkan hidupnya di kota metropolitan dengan menerima pekerjaan jahitan.


Anak Pembantu
Dalam usaha mencarikan penyelesaian bagi para pelajar teladan yang tidak berada ini, terungkapkan pula latar belakang kehidupan mereka. Ada anak seorang pembantu rumah tangga buta huruf yang untuk biaya sekolah di SMA, bekerja di toko pada sore hari dengan upah Rp 2.500 sebulan. Ada pula pelajar teladan tingkat provinsi yang orangtuanya mencari nafkah dari mencuci pakaian orang lain di tepi sungai.

Secara tak langsung juga terungkapkan bahwa guru yang sering dituduh masyarakat mengalami masa panen pada setiap pergantian tahun, justru mempunyai perhatian besar untuk menyelamatkan pelajar-pelajar teladan yang tidak mampu dan putus harapan karena putus cita-cita. Demikian pula patut dikemukakan bahwa seorang kepala daerah akan membantu putra daerahnya yang berpotensi tinggi asal saja ia dapat diyakinkan bahwa anak itu perlu dibantu.

Beasiswa Supersemar telah banyak menolong mahasiswa tahun kedua ke atas yang kehabisan biaya untuk belajar. Yang masih perlu kita cari sumbernya adalah beasiswa bagi lulusan-lulusan SMA berprestasi baik yang tidak mampu dari segi biaya, agar dapat meneruskan ke perguruan tinggi.

Kita tidak cukup mengandalkan diri kepada para guru saja atau kepada dermawan yang kebetulan mengetahui bahwa ada orang dari daerah asalnya ditimpa kesulitan. Tidak juga dapat kita bebankan keadaan-keadaan ini pada permohonan bantuan secara tiba-tiba kepada para kepala daerah.

Harus ada suatu cara melembagakan bantuan beasiswa jenis ini. Memang kasusnya di IPB baru terungkapkan satu kali pada tahun yang lalu dan lebih sering lagi pada tahun ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa kasus seperti itu hanya sedikit. Terungkapkannya kasus seperti itu pun hanya disebabkan karena adanya pembebasan ujian saringan masuk  dan tawaran keringanan SPP. Oleh karena itu, tidak diperlukan memikirkan pembayaran uang ujian antara empat sampai enam ribu rupiah dan SPP beberapa puluh ribu rupiah. Oleh karena itu juga, ada guru yang nekat membiayai anak didiknya datang ke Bogor diiringi doa bahwa masalah selanjutnya akan ada lagi yang memikirkannya.

Pada tahun 1963 Taufiq Ismail menulis:

"Dan kami bersyukur pada Tuhan,
yang telah melebarkan gerbang tua ini.
Dan kami bersyukur pada ibu bapak.
Yang sepanjang malam berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami."

Dalam suatu sajak yang dipersembahkannya kepada almamaternya.


Memang benar kemerdekaan telah melebarkan pintu gerbang perguruan tinggi bagi lebih banyak lagi anggota masyarakat, terutama yang tidak berdarah biru atau bukan anak pegawai negeri. Memang benar bahwa ibu bapak harus ikut membiayai pendidikan anaknya. Ada yang mudah membiayainya, tetapi kebanyakan sambil terbungkuk-bungkuk.


Walaupun Telah Bungkuk
Yang sering kita lupakan adalah bahwa ada pula orang tua yang walaupun telah membungkuk sampai tiarap, tidak mampu membiayai anaknya bersekolah lebih lanjut ke perguruan tinggi. Walaupun anaknya itu telah lulus SMA dengan prestasi yang gemilang dan berpotensi tinggi untuk berhasil di perguruan tinggi, apabila keadaan lingkungannya sesuai.

Pada kesempatan ini saya ingin melihat ke belakang. Setiap tahun sekali, warga akademis setiap perguruan tinggi merayakan hari jadi perguruan tingginya dengan meminta sumbangan dari para alumni dan sumber-sumber lain. Kalau kita dapat menyederhanakan bentuk perayaan ini, uang yang tersimpan dapat kita kumpulkan menjadi dana beasiswa yang berasal dari alumni.

Setiap tahun juga semua Dewan Mahasiswa mengumpulkan dana dan menggunakannya untuk menyukseskan pekan orientasi. Berapa banyak uang terbuang untuk ongkos cetak-mencetak di atas kertas linen yang mewah, serta berapa yang diwajibkan dikeluarkan untuk membeli jaket untuk membina rasa persaudaraan, saya tidak tahu. Tetapi kalau kita berani menyederhanakan semuanya, uang yang tersisa juga dapat menggemukkan dana beasiswa bagi calon mahasiswa yang tidak berada.

Dalam mengakhiri tulisan ini, giliran saya untuk menundukkan kepala dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Karena saya juga anak seorang janda yang hanya mampu membiayai saya belajar sampai lulus sekolah kejuruan menengah atas (SPMA). Demi untuk membagi perhatian kepada empat orang anak-anaknya lagi yang juga memerlukan biaya untuk bersekolah. Agar mereka juga mampu tegak di atas kakinya sendiri. Kalau saja pemerintah tidak menganugerahi saya dengan suatu tugas belajar ke perguruan tinggi dua puluh tiga tahun yang lalu (1953), perjalanan hidup saya akan menjadi lain. Paling tidak saya tidak akan mampu dan tergerak untuk membuat tulisan ini.
_____________________________ 
Dikutip dari buku: "DAUN-DAUN BERSERAKAN", Percikan Pemikiran Mengenai Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, kumpulan tulisan Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion, Penerbit IPB Press, Cetakan Kedua Februari 2011.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

RINGKASAN TULISAN

Kisah dalam Blog ini saya mulai dari saat kecil saya. Peristiwa yang tidak bisa saya lupakan adalah hujan abu, ketika gunung agung di Bali meletus, ini membuat desa saya selama 3 hari 3 malam serasa malam, karena gelap terus sepanjang hari. Peristiwa G-30-S PKI adalah peristiwa berikutnya yg pernah saya alami dan terasa miris dan memilukan.

Sekolah SMP saya letaknya disebelah barat lapangan besaran. Luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan itu ada bangunan tua, bekas rumah atau kantor pejabat pemerintah Hindia belanda. Disana bangunan SMP saya itu berada.

Siswi baru itu ternyata pindahan dari sekolah lain. Sopan dalam bicara, santun dalam bersikap. Putih bersih kulitnya. Teman saya memberi julukan si Mutiara dari Masamba. Di bagian ini saya curahkan betapa cinta itu memberi energi yang luar biasa.

Dibagian cerita ini, saya merasakan begitu bahagia. Masa SMA adalah masa terindah. Agaknya saya berbeda dengan yang lain, karena di saat ini biasanya cinta itu tumbuh. Namun saya merasakan keberhasilan yang lain selain cinta. Bagi saya, cinta itu masih melekat dari masa sebelum ini.

Jatuh dan bangun dalam kehidupan saya rasakan disini. Sampai saya punya pendangan bahwa kebanggaan saya bukan karena tidak pernah gagal, tapi kebanggaan saya adalah bagaimana bisa bangkit setiap kali jatuh.

Adalah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, intinya menceriterakan bahwa di IPB ternyata tidak sedikit anak yang gak mampu dalam segi biaya seperti saya. Tulisan ini dikutip dari Majalah TEMPO 24 Januari 1976.

Adalah kumpulan kata mutiara cinta, ada sekitar 105 pasal. Anda dapat menambahkan kata mutiara cinta milik anda disini, kalau pengin lihat hasilnya Klik disini.

Blogger Template by Blogcrowds